Petronela Gobay (Foto:salampapua.com/Acik)
SALAM PAPUA (TIMIKA)– Tanggungjawab sebagai orang tua tunggal tentunya bukan hal yang gampang, khususnya kaum perempuan Papua dalam membesarkan anak ataupun untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Petronela Gobay, salah satu dari sekian banyak perempuan Papua yang sejak lama berjuang membesarkan tiga orang anaknya tanpa adanya suami.
Beruntung, sebagai perempuan asli Suku Paniai, dirinya sejak kecil telah terlatih berjuang mencari nafkah, baik di kebun maupun berjualan serta merajut noken sebagai warisan leluhurnya.
Bertahun-tahun, pagi hingga malam hari dirinya berjualan di pasar Karang Tumaritis, Kabupaten Nabire. Tidak banyak pangan lokal yang dijualnya selain sayur, keladi, pisang, petatas dan pinang. Sedikit demi sedikit sebagian penghasilnya disisipkan untuk membeli sebidang tanah yang sejak lama ia mimpikan.
Saat ditemui salampapua.com di salah satu stand festival produk lokal dan UMKM yang digelar Pemkab Mimika, Sabtu (29/10/2022), Nela, sapaan akrabnya, mengaku bahwa anaknya ada 12 orang, namun saat ini tinggal tiga orang. Dua anaknya tidak sekolah dan satunya lagi sementara ikut tes Akademi Kepolisian (Akpol) di Nabire.
“Dari dulu saya berjuang sendiri. Saya sudah beli sebidang tanah di Timika dari hasil jual noken. Memang tanah tidak luas, tapi sudah sangat bersyukur bisa miliki tanah sendiri sebagai warisan untuk anak. Anak saya yang satu sementara ikut tes Polisi di Nabire, sedangkan dua anak saya yang lain tidak sekolah karena kesulitan biaya,” kata Perempuan yang berdomisili di SP2 Timika ini.
Dia mengatakan, meski tiga anaknya telah dewasa, tapi tanggungjawabnya sebagai seorang ibu masih tetap dijalani hingga kelak menutup mata.
Menjual noken kas Papua dengan bahan alami sudah ditekuninya sejak remaja. Seiring waktu, ia pun belajar merajut tas, bahkan baju dari bahan benang wol.
Untuk keperluan pembuatan noken asli Papua, dirinya langsung mencari bahan sendiri, baik kulit kayu ataupun bahan lainnya. Pembuatannya juga membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga dalam satu bulan terkadang hanya bisa menyelesaikan 10 hingga 15 noken. Harganya juga disesuaikan dengan bahan dan ukurannya, mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 1.000.000.
“Sebagai perempuan Papua, kita tidak lepas dari anyam noken. Pokoknya kalau tidak ke kebun, berarti duduk-duduk di rumah, tapi sambil menganyam noken, karena itu sudah tradisi dan dijadikan sebagai mata pencaharian,” ujarnya.
Selebihnya ia berharap ada bantuan pemerintah untuk memberikan peluang usahanya, sehingga dapat dipasarkan lebih luas ke luar daerah. Bantuan modal juga sangat dibutuhkan guna mengembangkan usaha UMKM.
“Festival ini juga sangat bagus, tapi bagaimanapun kita butuh lebih untuk pengembangan usaha,” katanya.
Wartawan : Acik
Editor : Jimmy
Sumber: SALAM PAPUA Read More