TIMIKA, pojokpapua.id – Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Mimika, Jumat (9/6/2023). Kunjungan dipimpin Senator Papua, Yorrys Raweyai yang juga Ketua Komite II DPD RI.
Dalam kunjungannya kali ini, Komite II DPD RI melakukan pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten Mimika, Pemprov Papua Tengah, DPR Papua, PT Freeport Indonesia, lembaga masyarakat adat, LSM serta BUMN membahas dampak lingkungan dari operasional PT Freeport Indonesia.
Yorrys Raweyai mengatakan sebagai representasi daerah, DPD ingin memfasilitasi dan mencari solusi atas berbagai persoalan yang dialami daerah dan masyarakat. Termasuk di Kabupaten Mimika dengan keberadaan PT Freeport Indonesia yang sudah beroperasi selama hampir 60 tahun dan diharapkan keberadaannya bisa dirasakan dan dinikmati oleh masyarakat.
Untuk itu ia ingin menjaring aspirasi dari masyarakat terkait dampak yang dirasakan. “Hasil dari diskusi ini kami akan bawa kembali ke Jakarta untuk ditindaklanjuti agar persoalan dampak, terdampak dari tailing dan yang terpengaruh ini bisa kita cari solusi bersama,” katanya.
Pertemuan ini dimanfaatkan oleh Lembaga Peduli Masyarakat Wilayah Mimika Timur Jauh (Lepemawi Miktim) untuk mengungkapkan berbagai dampak yang dirasakan oleh masyarakat akibat limbah atau tailing PT Freeport Indonesia.
Ketua Lepemawi Miktim, Adolfina Kuum mengungkapkan selama ini ada beberapa distrik yang terdampak langsung akibat limbah tailing yaitu Mimika Timur, Mimika Timur Jauh, Agimuga dan Jita. Bahkan sekarang ini semakin meluas ke wilayah barat Mimika.
Salah satu dampak tailing adalah pendangkalan sungai maupun muara yang membuat akses masyarakat dari Timika ke distrik sangat sulit. Akibat pendangkalan membuat perjalanan masyarakat dengan perahu jadi terkendala. Masyarakat bahkan harus mendorong perahu karena kondisi sungai yang dangkal. Kondisi ini juga memaksa masyarakat harus berlayar melalui laut yang kerap berbahaya dan sering menimbulkan korban akibat gelombang tinggi.
Masyarakat Kamoro yang hidupnya sangat dekat dengan sungai pun kini semakin kesulitan untuk mencari ikan karena sungai dangkal begitu pula dengan muara dan pesisir pantai. Bahkan diungkapkan Adolfina, sudah beberapa kali terjadi kasus ikan mati massal di sekitar muara pembuangan limbah.
Tidak hanya itu, Adolfina juga menyatakan masyarakat di 23 kampung mengalami gangguan kesehatan berupa penyakit kulit karena anak kecil sering mandi dan bermain di kali yang menjadi tempat pembuangan limbah. Ini terjadi karena sebagian besar kampung di pesisir mengalami krisis air bersih dan hanya mengandalkan air hujan.
Sementara itu perwakilan PTFI, Jenpino mengungkapkan dalam pengolahan bijih, PTFI menggunakan proses fisik dan tidak menggunakan merkuri atau sianida yang berbahaya. Ia pun mengakui sebagai perusahaan tambang tentunya menghasilkan limbah tailing. Namun Freeport menggunakan beberapa cara untuk penanganan tailing.
Menurut Jenpino, tailing yang dialirkan dari Tembagapura ke dataran rendah menyebabkan sedimentasi di beberapa sungai dan muara. Sedimentasi ini justru menciptakan habitat baru, karena mangrove tumbuh secara alami. Ada juga yang ditanam dengan luasan 500 hektar setiap tahun.
Ia mengungkapkan, PTFI menjalankan tanggungjawab sosial kepada masyarakat dengan menyediakan alat transportasi berupa perahu dan bus yang melayani beberapa kampung. Penguatan ekonomi juga dilakukan serta layanan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat terdampak.(*)
Sumber: Pojok Papua Read More