Kunjungan ke Mimika, DPD RI Terima Aspirasi Soal Lingkungan dan Ketenagakerjaan di Freeport

TIMIKA, pojokpapua.id – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia sedang menyusun Rancangan Undang Undang Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam. Kabupaten Mimika menjadi salah satu daerah yang dikunjungi untuk menginventarisir materi yang akan dituangkan dalam RUU tersebut.

Pertemuan digelar Kamis (8/6/2023) dihadiri oleh Wakil I Panitia Perancang Undang-Undang  Drs. Muhammad Afnan Hadikusumo, senator asal Papua, Filep Wamafma, Pj Sekda Mimika Petrus Yumte, Vice Presiden Government Relation PTFI Jony Lingga, Forkopimda dan pimpinan OPD lingkup Pemkab Mimika.

Wakil I Panitia Perancang Undang-Undang  Drs. Muhammad Afnan Hadikusumo mengatakan, saat ini DPD RI sedang menyusun beberapa RUU salah satunya sistem pengelolaan sumber daya alam. Mimika dipilih jadi salah daerah sampel karena keberadaan PT Freeport Indonesia yang mengelola tambang emas di Papua.

Senator asal Papua Barat, Filep Wamafma menambahkan RUU sistem pengelolaan sumber daya alam ini sangat penting untuk memastikan SDA yang ada di Indonesia salah satunya di Papua dikelola dengan baik dan memberi dampak positif bagi masyarakat luas.

Filep menyatakan, pelestarian alam sangat penting dalam sebuah investasi di bidang pertambangan. Sebab banyak bekas tambang yang menimbulkan persoalan berkaitan dengan pencemaran dan kerusakan lingkungan.

“Kabupaten Mimika kami pilih karena ada perusahaan tambang yaitu Freeport dan baru-baru ini penguasaan sahamnya mayoritas oleh negara. Jadi kita mau teliti apakah dampaknya sudah memberi kesejahteraan,” katanya.

Sebab kata Filep, Papua memiliki sumber daya alam tapi kemiskinan ekstrim juga terjadi di Papua. “Kemiskinan bukan saja tanggungjawab pemerintah tapi juga investor, tidak hanya pikir keuntungan,” ujarnya.

Adapun APBD Mimika Rp 5,1 triliun menurut Filep memang terdengar besar. Tapi tantangan pembangunan di Papua termasuk Mimika sangat besar terutama kondisi geografis sehingga anga tersebut tidak bisa disejajarkan dengan kabupaten di luar Papua.

Dari sisi pendapatan daerah seperti yang dipaparkan Kepala Bapenda Mimika, Dwi Cholifah bahwa penerimaan Kabupaten Mimika sekitar 75 persen karena adanya PTFI baik langsung maupun tidak langsung. Dari realisasi APBD senilai Rp 5.390.165.954.052 pada Tahun 2022 lalu, sebesar Rp 4.027.994.480.734 bersumber dari Freeport dan penerimaan lainnya Rp 1.362.122.473.318.

Penerimaan itu meliputi bagi hasil PPh, bagi hasil PBB P3, bagi hasil iuran tetap atau landrent, bagi hasil iuran eksplorasi dan eksploitasi serta dividen 2,5 persen dari laba bersih sebagai konsekuensi dari Izin Usaha Pertambahan Khusus (IUPK). Ini juga belum termasuk dividen atas kepemilikan saham sebesar 7 persen oleh Pemkab Mimika.

Selain masalah penerimaan daerah, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Mimika, Paulus Yanengga berharap dalam RUU yang disusun oleh DPD RI bisa memuat soal perlindungan terhadap tenaga kerja lokal di Mimika khsusunya orang asli Papua.

Pasalnya di lingkup PT Freeport Indonesia sendiri termasuk kontraktor dan privatisasinya lebih banyak merekrut atau mendatangkan tenaga kerja dari luar Mimika bahkan luar Papua. Sementara di Mimika sendiri pencari kerja mencapai 8 ribu.

“Kami di daerah sedang menyusun Perda melindungi tenaga kerja lokal. Di Freeport sendiri, jumlah tenaga kerja yang orang asli Papua kami minta ke manajemen tapi tidak diserahkan. Kami tak pernah berhenti menerima aduan karyawan di-PHK dan dirumahkan, jadi kita harus ada Perda perlindungan bagi tenaga kerja asli Papua,” tandasnya.

Inspektur Pemkab Mimika, Sihol Parningotan berharap dalam RUU juga diharapkan bisa melindungi masyarakat lokal. Jangan sampai investor menghilangkan status dari suku aslu dengan cara relokasi. “Karena biasanya ada relokasi dan hilangkan status dan martabat. Sehingga apakah diatur juga dalam Undang Undang terkait hak masyarakat adat, pemilik tanah di sekitar dan bagaimana kompensasinya. Bahkan bila perlu, sebelum izin diberikan harus ada ganti rugi kepada pemilik hak ulayat,” tandasnya.

Kepala Bappeda, Yohana Paliling juga mengungkapkan bahwa salah satu kendala pengembangan sektor non tambang di Mimika seperti perkebunan adalah status kawasan hutan. Dimana 97 persen wilayah Mimika masuk dalam kawasan hutan lindung dan Taman Nasional Lorentz. Ia berharap pemerintah pusat bisa mengambil kebijakan penurunan status kawasan hutan agar bisa dimanfaatkan untuk pengembangan daerah.

Menyikapi hal tersebut, Filep Wamafma meminta Pemkab Mimika untuk segera menginventarisir tanah hak ulayat agar dibuat sertifikat hak komunal. “Saya tunggu jajaran Pemkab Mimika dan kita siap perjuangkan,” tegas Filep.(*)

Sumber: Pojok Papua Read More

Pos terkait