TIMIKA – Adanya polemik seputar pesawat milik Pemerintah Kabupaten Mimika yang dikelola oleh PT Asian One Air, disikapi DPRD Mimika dengan membentuk panitia khusus (pansus).
Pasalnya, aset berupa satu pesawat Cessna Grand Caravan dan helikopter Airbus B3 Registrasi PK-LTA milik Pemkab yang dibeli dengan anggaan sekitar Rp85 miliar ini dinilai merugikan Pemkab bahkan masyarakat.
Bahkan dalam rapat dengar pendapat antara Komisi B DPRD dengan Dinas Perhubungan serta Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKAD) terungkap bahwa helikopter terdata di Bea Cukai bukan atas nama Pemkab Mimika tapi Asian One Air.
Kepala Dishub Mimika, Ida Wahyuni menjelaskan bahwa Tahun 2015, Pemkab Mimika dengan Asian One Air membuat kerjasama tentang pengadaan, pemasukan dan pengoperasian. Adapun pengelolaan selama ini, izin sementara diberikan oleh Bea Cukai untuk barang yang dicicil dan akan jadi milik, atau barang sewaan dengan pemilik orang asing. Jadi ia menyatakan bahwa statusnya leasing dan sewa menyewa.
Izin impor sementara helikopter telah berakhir dan harus dilakukan ekspor ke negara asal. Untuk menyelamatkan aset daerah, Pemkab Mimika meminta pendampingan Kejaksaan Negeri Mimika. Kejaksaan sudah bersurat ke Bea Cukai untuk melakukan penundaan.
Ida menyebut, dalam proses pendampingan itu Kejari Mimika telah memanggil beberapa pejabat terkait untuk dimintai keterangan karena diduga ada pelanggaran yang mengarah ke unsur pidana.
Di depan pimpinan dan anggota DPRD Mimika, Kadishub Ida Wahyuni menegaskan bahwa dalam persoalan ini tidak ada tendensius kepada siapapun. “Tapi kami hanya pertahankan aset Pemda, karena status pesawat itu adalah milik Pemda,” tegasnya.
Ida juga mengungkapkan bahwa sesuai kontrak dengan Asian One Air, hasil sewa bagi hasil. Dimana Pemkab mendapatkan Rp12,5 juta per jam terbang helikopter dan Rp10 juta untuk pesawat. Pemkab juga menjalankan kewajiban mengalokasikan anggaran setiap tahun untuk asuransi dan sparepart.
Tapi sejak Tahun 2020, Asian One Air menunggak pembayaran hasil sewa sebesar Rp21 milar kepada Pemkab Mimika. Sementara keberadaan helikopter sekarang berdasarkan data AirNav, helikopter ada di Nabire dan tidak ada jam terbang di Timika.
Ketua DPRD, Anton Bukaleng geram karena pesawat yang seharusnya digunakan untuk melayani masyarakat justru terbalik. Menurutnya, ini sudah salah sejak awal sampai pada pengelolaan. “Pemda Mimika adakan untuk masyarakat, tapi pesawat dan helikopter ada dimana,” katanya.
Ketua Komisi B, Nurman Karupukaro mengatakan pansus harus dibentuk untuk mengusut lebih tajam. Sebab sudah ada temuan BPK terkait tunggakan Asian One Air sebesar Rp21 miliar yang harus ditindaklanjuti. Jika dalam temuan pansus, ada menemukan pelanggaran maka pansus akan merekomendasikan kepada penegak hukum untuk melakukan penyelidikan.
Menurutnya, anggaran untuk pembelian pesawat cukup besar mencapai Rp85 miliar tapi baru menghasilkan Rp17 miliar kepada daerah. Di sisi lain, Pemda dalam hal ini Dinas Kesehatan harus menyewa helikopter untuk melayani masyarakat.
Sekretaris Komisi B, Risal Pata’dan meminta Dishub dan OPD terkait untuk menyiapkan data sebagai bahan bagi Pansus. Sebab ia menduga, persoalan ini mengarah ke pidana sehingga harus diusut.
“Sudah lama jadi sorotan masyarakat, ini aset Pemda, masyarakat yang punya, pemerintah hanya dititipkan. Jangan sampai ini hanya dimanfaatkan orang, Pemda tidak dapat hasil,” ujar Risal.
Anggota Komisi B lainnya seperti Mathius Yanengga, Semuel Bunei, Yustina Timang, Amandus Gwijanngge, Lexi Lintuuran, Anton Pali serta Tanzil Azhari juga menyuaran hal yang sama. Para anggota dewan ini meminta Pemkab Mimika mengurai benang kusut pengelolaan pesawat Pemkab.
Sumber: Pojok Papua Read More