TAJUK SALAM PAPUA – SAH… Undang-undang Nomor 15 Tahun 2022 tentang Provinsi Papua Tengah telah ditandatangani (diteken) Presiden Joko Widodo sejak tanggal 25 Juli 2022 lalu.
Di tanggal yang sama itu diketahui Wakil Menteri Dalam Negeri John Wempi Wetipo melakukan kunjungan ke Kabupaten Nabire.
Seperti dilansir dari laman jdih.setneg.go.id dan peraturan.bpk.go.id, UU yang memiliki nomor LN 158 dan nomor TLN 6804 ini juga telah terdaftar di Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 158.
Seperti yang diketahui sebelumnya, cakupan wilayah Provinsi Papua Tengah ini terdiri atas 8 Kabupaten seperti yang tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) yakni Kabupaten Nabire, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Intan Jaya, dan Kabupaten Deiyai.
Sementara untuk Ibu Kota Provinsi Papua Tengah seperti yang tercantum pada Pasal 6 berkedudukan di Kabupaten Nabire.
Sehubungan dengan Peresmian Provinsi Papua Tengah dan Pelantikan Penjabat Gubernur seperti dalam pasal 8 disebutkan dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden paling lama 6 bulan terhitung sejak UU ini diundangkan, atau dengan kata lain paling lambat 25 Januari 2023 mendatang.
Nafas dari pemekaran ini seperti yang termaktub dalam UU yang bertalian dengan UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua sebagaimana yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU nomor 21 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas UU Otsus tersebut adalah untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat serta mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua, khususnya di Kabupaten Nabire, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Intan Jaya, dan Kabupaten Deiyai.
Semoga… nafas pemekaran tersebut benar-benar dapat menumbuhkembangkan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia serta memberi kemakmuran kepada masyarakat Orang Asli Papua (OAP), khususnya di wilayah Provinsi Papua Tengah. Hal ini satu nafas dengan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang tercantum pada pasal 76 ayat (4) bahwa Pemekaran harus menjamin dan memberikan ruang kepada Orang Asli Papua dalam aktivitas politik, pemerintahan, perekonomian, dan sosial-budaya.
Dalam hal ini, 3 DOB Papua saat ini sudah memiliki kekuatan hukum tetap (legal), sehingga yang perlu dilakukan sekarang adalah semua pihak pembuat kebijakan dan pembuat UU, baik di tingkat pusat maupun daerah Papua, perlu sama-sama “turun gunung” dengan semua tokoh-tokoh penting OAP dalam menurunkan temperatur politik yang sempat menghangat karena gelombang pro-kontra DOB Papua dan bersama-sama berkomitmen secara tulus, jujur dan transparan untuk satu tujuan yakni meningkatkan kesejahteraan Orang Asli Papua di Tanah Papua.
Dari sudut psikologi politik, mendengar aspirasi rakyat, selaku pemegang kedaulatan dan kekuasaan tertinggi dalam konteks negara demokrasi, jauh lebih penting daripada sekedar agenda politik Nasional. Tentunya aktivitas “mendengar” di sini perlu dilakukan secara seimbang, komprehensif dan berkarakteristik nasionalisme dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Akhirulkalam, setelah ditandatangani oleh Presiden dan terdaftar di Lembaran Negara, maka UU ini terbuka atas pengajuan judicial review di Mahkamah Konstitusi sebagai langkah “hukum menjadi panglima” jika ada yang tidak sepakat dengan keseluruhan atau bagian tertentu dari UU dimaksud. Salam! (Red)
Sumber: SALAM PAPUA Read More