Tiga Makna Kata Al-Qadar dalam Al-Qur’an (Bagian 2)

Oleh : Ustad H. Muhammad Amin, SAg

PENETAPAN dan pengaturan sehingga Lailatul Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah dalam surat Ad-Dukhan ayat 3 yang disebut di atas. (Ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun).

Baca juga : Gema Ramadhan: Sarana Pendidikan yang Efektif

Al-Quran yang turun pada malam Lailatul Qadar, diartikan bahwa pada malam itu Allah Swt. mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi-Nya Muhammad Saw, guna mengajak manusia kepada agama yang benar, yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia baik sebagai individu maupun kelompok.

Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran, serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadar yang berarti mulia ditemukan dalam surat Al-An’am (6): 91 yang berbicara tentang kaum musyrik: Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat.

Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyakuya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh ((Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.

Kata qadar yang berarti sempit digunakan Al-Quran antara 1ain dalam surat A1-Ra’d (13): 26: Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya).

Ketiga arti tersebut pada hakikatnya dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan.

Sebelum kita melanjutkan bahasan tentang Lailatul Qadar, maka terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang kehadirannya adakah setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu?

Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Lailatul Qadar. Akan tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw., maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya Al-Quran.

Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda bahwa malam qadar sudah tidak akan datang lagi.

Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka berpegang kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Lailatul Qadar terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Bahkan Rasululllah Saw. Menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu, secara khusus pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua puluh Ramadhan.

Memang turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam Lailatul Qadar, tetapi itu bukan berarti bahwa ketika itu saja malam mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri.

Pendapat di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari’ (present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang mengandung arti kesinambungan (baca: kandungan surat al-Qadar), atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.

Bila Lailatul Qadar hadir, Apakah ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu?

Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun dugaan itu menurut hemat penulis keliru, karena hal itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak.

Di sisi lain berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik-material, sedangkan riwayat-riwayat demikian, tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Seandainya, sekali lagi seandainya, ada ciri fisik material, maka itu pun takkan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya.

Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailatul Qadar tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di sana mendambakannya.

Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya? Demikian juga dengan Lailatul Qadar. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.

Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya Rasul Saw. menganjurkan sekaligus mempraktekkan i’tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailat Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika itu, malam kehadirannya menjadi saat qadar dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.

Sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbitnya fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian. (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadar yang dikemukakan di atas!).

Syaikh Muhammad ‘Abduh, menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. ‘Abduh memberi ilustrasi berikut: Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, baik dan buruk. Manusia sering merasakan pertarungan antar keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan.

Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, sampai akhirnya sidang memutuskan sesuatu. Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedang yang membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak, kata ‘Abduh, penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan.

Tanggapan Muhammad Abduh tentang pandangan Iman Al-Ghazali tentang malam lailatul qadar, semkin dipertegas dengan tambahan: Turunnya malaikat pada malam Lailatul Qadar menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya, menjadikan yang bersangkutan akan selalu disertai oleh malaikat. Sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan, dan dia sendiri akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tak terbatas sampai fajar malam Lailat Al-Qadar, tapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak.(bersambung/a40)

The post Tiga Makna Kata Al-Qadar dalam Al-Qur’an (Bagian 2) appeared first on Timika Express.

Pos terkait