Sebuah Potret Miris Pendidikan Tinggi di Tanah Papua

Oleh: Dr. Suriel Samuel Mofu, S.Pd, M.Ed,TEFL, M.Phil (Oxon)*

SAAT ini jumlah Perguruan Tinggi di Tanah Papua yang berada di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) sebanyak 5 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 71 Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Dari 71 PTS tersebut, 50 PTS di Provinsi Papua dan 21 di Provinsi Papua Barat.

Ada 2007 dosen yang mengajar di PTS se-Tanah Papua, di mana 50 persen dari dosen-dosen tersebut telah memiliki jabatan fungsional Asisten Ahli hingga Lektor Kepala. Sementara itu, di dalamnya juga sudah ada 623 dosen yang telah tersertifikasi dosen.

Angka partisipasi kasar Pendidikan Tinggi di Tanah Papua baru mencapai 11 persen, sedangkan 89 persen lulusan SMA/SMK/Sederajat di Tanah Papua belum “menikmati” Pendidikan Tinggi.

Sesuai survei yang saya pernah lakukan, pada tahun 2018 sebelum pandemi covid-19, ada 60.000 mahasiswa yang terdaftar di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti), namun ternyata hanya 23.000 mahasiswa atau 38 persen yang kuliah, sedangkan 37.000 mahasiswa atau 62 persen tidak kuliah.

Sementara di tahun 2020 ketika pandemi covid-19 terjadi, ada 81.355 mahasiswa yang terdaftar di PD Dikti yang kuliah di PTS-PTS di Tanah Papua. Ternyata yang kuliah hanya 7.563 mahasiswa atau 9,3 persen, sedangkan yang tidak kuliah berjumlah 73.792 mahasiswa atau 90,7 persen.

Mengapa mereka tidak bisa kuliah? Miris, karena tidak punya uang untuk membayar SPP.

Saya juga melakukan survei terhadap tingkat ekonomi orang tua mahasiswa di Tanah Papua. Ternyata ditemukan data, ada 92 persen penghasilan orang tua di bawah Rp 2.000.000 per-bulan. Dari 92 persen itu, 54 persen tidak berpenghasilan.

Orang Papua memang memiliki tanah yang luas di bumi cenderawasih ini, tapi sayangnya orang tua dari mahasiswa-mahasiswi orang asli Papua yang menempuh Pendidikan Tinggi di Tanah Papua ini tidak punya uang untuk membiayai putra-putri mereka.

Ini sebuah potret atau wajah mahasiswa-mahasiswa yang menempuh Pendidikan Tinggi di Tanah Papua, sungguh memprihatinkan. Pertanyaan besarnya, siapa yang harus menolong mereka?

Sampai sejauh ini, di dalam pengamatan dan sesuai pengalaman saya sebagai Kepala LLDikti Wilayah XIV Papua-Papua Barat, PTS-PTS di Tanah Papua adalah “juruselamat” Pendidikan Tinggi di Tanah Papua. Sebab mereka masih tetap meneruskan perkuliahan mahasiswa-mahasiswi orang asli Papua yang tidak mampu membiayai studinya, bahkan sampai diwisuda dengan segala kekurangan yang dimiliki. Ini sebuah tantangan besar bagi semua pemangku kepentingan di Tanah Papua yang tercinta ini.

Inilah juga sebagai alasan, kenapa saya mau memimpin LLDikti wilayah XIV? Saya akan tetap berjuang sampai ada pembelaan terhadap masyarakat Papua di Pendidikan Tinggi.

Dalam perjuangan saya, pada tahun 2022 ini, melalui Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) wilayah XIV Papua-Papua Barat (sebelumnya disebut Kopertis yang hanya memimpin PTS) hanya mampu memberikan 3205 beasiswa kepada mahasiswa-mahasiswi PTS di Tanah Papua, yang dananya bersumber dari Kemdikbudristek RI.

Ini masalah serius di Tanah Papua.

Sementara “tsunami” Rupiah yang menghantam Papua dan Papua Barat yang namanya dana Otsus itu belum mengena secara tepat sasaran dan konsisten bagi Pendidikan Tinggi di Tanah Papua.

Untuk itu harus ada intervensi dari Pemerintah Daerah, Dunia Usaha dan Dunia Industri, serta siapa pun yang berkepentingan, terhadap kelemahan pembiayaan Pendidikan Tinggi orang asli Papua. Jika tidak, Sumber Daya Manusia di Tanah Papua ini tidak akan pernah maju, karena dia tertinggal jauh di dalam “kegelapan” ketidaktahuan. Jika melihat di negara-negara maju, mereka maju karena angka partisipasi kasar Pendidikan Tinggi juga tinggi. Salam!

*Pemateri adalah putra asli Papua yang menamatkan studi doktoralnya di Oxford University Inggris tahun 2009. **Kepala LLDikti Wilayah XIV Papua-Papua Barat.

(Materi ini disampaikan dalam Wisuda Politeknik Amamapare Timika ke-X, tanggal 9 Juli 2022)

Editor: Jimmy R

Sumber: SALAM PAPUA Read More

Pos terkait