DALAM bagian Alkitab, Yunus 4:1-11, menjelaskan Nabi Yunus sangat marah karena Tuhan menerima pertobatan Niniwe. Saking marahnya, Nabi Yunus bahkan meminta mati.
Yunus marah karena Niniwe merupakan Ibu Kota Kerajaan Asyur yang saat itu menjadi Negara Adikuasa Dunia, salah satunya menjajah Bangsa Israel.
Seperti diketahui, Kerajaan Israel Utara (Ibu Kotanya di Samaria) jatuh ke tangan bangsa Asyur pada tahun 722 SM. Sedangkan Kerajaan Israel Selatan (Ibu Kotanya di Yerusalem) di zaman itu berada di bawah jajahan Asyur, di mana Israel Selatan harus membayar upeti (pajak) yang tinggi kepada Asyur selama bertahun-tahun untuk menghindari serbuan bangsa Adikuasa ini (lihat 2Raj. 18:13-19:36).
Yunus memarahi Tuhan karena ternyata Tuhan mengampuni dan membatalkan hukumanNya atas Niniwe. Dasar dari kemarahan Yunus, karena dia menganggap orang-orang Niniwe adalah musuh Israel, musuh umat Tuhan. Orang-orang Niniwe inilah yang membuat orang Israel menderita, sehingga menurut Yunus, pantaslah Tuhan membela umatNya dan menghukum bangsa yang menindas umatNya. Dia menganggap Tuhan tidak konsisten.
Yunus lupa bahwa apa yang dipikirkan manusia itu tidak selamanya sama dengan ketetapan Tuhan (Yes. 55:8-9). Ada salah satu prinsip dalam Kitab Taurat yang Yunus lupa, yakni “Aku (Tuhan) akan memberi kasih karunia kepada siapa yang Kuberi kasih karunia dan mengasihi siapa yang Kukasihi” (Kel. 33:19).
Apalagi jika berbicara tentang pengampunan atas orang yang bertobat dari dosanya. Tuhan tidak memandang siapa pun orangnya, jika dia mau bertobat maka dia pasti diampuni. Sebaliknya, jika seseorang berbuat dosa, walaupun dia umat Tuhan, pasti dihukum Tuhan.
Tuhan menyesal bukan karena Tuhan tidak konsisten, tetapi malah sebaliknya di dalam diriNya terdapat relasi yang secara konsisten dilakukanNya, dari menghukum menjadi mengampuni karena adanya pertobatan dan dari memberkati menjadi menghukum karena adanya dosa. Inilah wujud dari relasi kasih dan keadilan Allah, inilah wujud ketetapan Tuhan yang tidak mungkin dilanggar oleh DiriNya sendiri, apalagi oleh manusia.
Sehingga yang harus disadari adalah bahwa ranah ini merupakan urusan Tuhan bukan manusia, maka kurang pantas sebenarnya Yunus memarahi Tuhan.
Akhirnya menjadi sesuatu lelucon, Nabi Yunus seharusnya bersyukur karena karyanya membuahkan hasil orang bertobat dari dosanya, namun malah sebaliknya tidak setuju dan marah-marah karena Niniwe bertobat dan diselamatkan Tuhan. Ini pertanda Yunus yang tidak konsisten, bukan Tuhan.
Pelajarannya bagi kita saat ini, tidak pantas kita marah-marah melihat orang lain hidup dalam kebenaran atau mengejar keadilan di balik kemungkinan adanya manipulasi. Kita harusnya marah jika melihat realitas hidup dalam ketidaksesuaian dengan Kebenaran dan Kasih Allah.
Di samping itu, jika pada saatnya orang-orang yang membenci kita itu kemudian bertobat, maka kita harus dengan lapang-dada menerima mereka dengan kasih. Kita harus selalu bisa memberikan kesempatan kedua kepada orang-orang yang melakukan kesalahan untuk sebuah tujuan agar mereka nantinya hidup di dalam kebenaran. Bukan malah menghakimi dan mengucilkan mereka, yang semestinya itu bukan wewenang kita. Jadilah pribadi yang selalu berfokus untuk mendatangkan damai sejahtera bagi orang lain. Amin
Tuhan memberkati kita semua
Salam,
Penulis adalah Dosen Agama Kristen di Politeknik Amamapare Timika
Sumber: SALAM PAPUA Read More