Ratusan Siswa SMA di Sentra Pendidikan Timika Merasa Ditelantarkan Pemerintah

Perwakilan siswa SMAN 5 Sentra Pendidikan saat bertemu dengan Ketua dan Sekretaris Komisi C DPRD Mimika (Foto:salampapua.com/Acik)

SALAM PAPUA (TIMIKA)–  Miris, ratusan anak asli orang Papua suku Amungme dan Kamoro di SMA Negeri 5 Sentra Pendidikan Timika terlantar tanpa perhatian pemerintah daerah.

Saat didatangi Komisi C DPRD Mimika, Senin (12/9/2022), anak-anak ini mengaku bahwa sejak  pandemi covid-19 mereka tidak lagi tinggal di asrama dan terpaksa tinggal di keluarga, bahkan ada yang kos dengan biaya Rp 1 500.000 per bulan.

“Pokoknya kami tinggalkan asrama sejak adanya covid-19, tapi kami masih pergi sekolah seperti biasa. Kurang lebih kami di sana sebanyak 300 lebih. Selama ini ada yang tinggal kembali bersama orang tua, keluarga dan untuk teman-teman yang keluarganya jauh, terpaksa tinggal di kos. Dulu waktu tinggal di asrama, kami ditanggung semuanya,” ungkap Kristin Kelabetme mewakili teman-temannya.

Di hadapan ketua Komisi C, Aloisius Paerong, anak-anak yang mengaku duduk di kelas XI dan XII ini mengaku bahwa mereka juga terpaksa menanggung biaya transportasi dari masing-masing tempat tinggal. Dimana di antara mereka berdomisili di  wilayah PT PAL, Poumako, Kwamki Lama, Nawaripi, SP12 dan beberapa wilayah jauh lainnya.

“Yang tinggal jauh itu harus pagi-pagi. Itupun terkadang tidak dapat transportasi, makanya tidak bisa datang sekolah,” katanya.

Sedangkan Ketua Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Kota Studi Timika (IPMT), Helois Kemong menyampaikan sebagai mahasiswa yang merupakan anak asli Amungme, tidak ingin melihat adik-adiknya ditelantarkan oleh Pemerintah. Sebab, perekonomian masing-masing anak tidak sama dan sangat membutuhkan bantuan. Diharapkan anak-anak Amungme dan Kamoro dikembalikan ke asrama dengan biaya dana Otsus.

“Makanya hari ini, saya dampingi adik-adik datang ke Komisi C supaya dorong pemerintah agar adik-adik kami bisa kembali seperti semula di asrama. Ini murni inisiatif kami sendiri untuk bertemu DPRD tanpa adanya paksaan dari siapapun,” kata Helois.

Sementara Ketua Komisi C DPRD Mimika Aloisius Paerong menyampaikan anak-anak yang datang tersebut merupakan perwakilan dari ratusan anak lainnya yang merupakan anak asli OAP khususnya Amungme dan Kamoro yang ada di SMAN 5 Sentra Pendidikan. Adapun dua orang di antaranya sebagai perwakilan orang tua dan masih tercatat sebagai mahasiswa.

Disampaikan bahwa sebelum pandemi covid-19, anak-anak ini tinggal di asrama dengan jaminan makan dan minum. Namun kemudian lantaran urusan SMA diambil alih pemerintah provinsi, maka semua anak-anak SMA ini dikeluarkan.

“Itu makanya anak-anak ini mencari tempat tinggal sendiri di luar. Syukur-syukur ada yang kembali ke orang tuanya. Tapi banyak di antara mereka yang menumpang dan ada juga yang terpaksa tinggal di kos dengan bayaran Rp 1.500.000 perbulan,” ungkap Aloisius.

Setelah mereka tinggalkan asrama, maka persoalan baru yang menjadi kendala mereka adalah biaya transportasi. Ada dua unit bus yang biasa mengangkut mereka, akan tetapi jumlah tersebut tidak cukup untuk meng-cover keseluruhan anak-anak. Rute bus tersebut juga tidak menjangkau ke semua tempat tinggal anak-anak dimaksud.

“Kasihan anak-anak ini. Padahal mereka punya kemauan untuk sekolah,” ujarnya.

Anak-anak juga mengeluhkan terkait keterbatasan guru, sehingga terkadang mereka tidak sekolah lantaran gurunya tidak ada.

“Mereka keluhkan kurang guru yang mengajar mereka. Jadi  kalau ada guru yang tidak masuk berarti mereka tidak sekolah, karena tidak ada guru yang backup,” katanya.

Selebihnya, perwakilan orang tua meminta pertanggungjawaban kepada Pemkab Mimika. Dalam hal ini, Pemkab Mimika harus transparan dalam hal pengelolaan dana Otsus khususnya dana pendidikan.

Atas keluhan tersebut, Komisi C berupaya menjadwalkan rapat dengar pendapat (RDP) dengan dinas pendidikan. Namun sebelum RDP, Komisi C akan melihat langsung kondisi di Sentra Pendidikan untuk mengetahui fasilitas di sekolah dan asramanya.

“Proses belajar mengajar mereka sekarang tidak maksimal. Kalau dulu pola asrama, maka setelah mereka keluar, jadinya tidak termonitor lagi. Kasihan anak-anak ini,” tutupnya.

Sekretaris Komisi C, Saleh Alhamid mengatakan bahwa Pemkab bersama Pemprov harus mengembalikan anak-anak tersebut ke asrama agar bangunan yang ada tidak mubasir.

Saleh menilai bahwa persoalan sebenarnya gampang. yaitu Pemprov Papua hanya menyurati Pemkab Mimika.

“Jangan sampai bangunan yang ada itu hanya untuk dihuni oleh jin dan setan,” katanya.

Wartawan: Acik

Editor: Jimmy

Sumber: SALAM PAPUA Read More

Pos terkait