Rafles Lakasa mengangkat sumpah dan janji saat hadir sebagai saksi persidangan 6 pelaku yang merupakan anggota TNI AD di Kejari Timika, tanggal 14 Desember 2022 (Foto:salampapapua.com/Acik)
SALAM PAPUA (TIMIKA) – Masyarakat Mimika tentunya belum melupakan peristiwa pembunuhan disertai mutilasi yang menimpa empat warga Nduga di Timika, pada 22 Agustus 2022 lalu.
Empat warga Nduga yang menjadi korban adalah Lemanion Nirigi, Atis Tini, Arnold Lokbere dan Irian Nirigi. Kasus perampokan berkedok jual-beli senjata api ini terkuak setalah warga Nduga menemukan satu potongan tubuh yang diduga merupakan keluarga mereka atas nama Arnold Lokbere, tanggal 26 Agustus di kali Kaugapu. Selanjutnya potongan tubuh korban lainnya pun ditemukan di wilayah yang sama pada tanggal 27, 29 dan 31 Agustus 2022.
Atas laporan keluarga korban di tanggal 27 Agustus 2022, dalam hitungan 1 x 24 jam, Satreskrim Polres Mimika bergerak cepat, hingga akhirnya 10 orang pelaku berhasil dideteksi (6 Oknum TNI AD dan 4 Warga Sipil). 9 orang di antaranya berhasil diamankan tanggal 28 Agustus 2022, disusul sebulan kemudian setelah sempat kabur dan menjadi DPO, tepatnya di tanggal 8 Oktober 2022, satu tersangka lainnya atas nama Roy Marten Howai alias Roy berhasil diciduk Polisi.
Seiring waktu, setelah melalui proses hukum, tahap demi tahap dimulai di Satreskrim Polres dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Mimika, saat ini empat terdakwa yang merupakan warga sipil itupun mulai menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Timika.
Satu dari empat terdakwa yang merupakan warga sipil adalah Rafles Lakasa.
Berikut wawancara eksklusif salampapua.com bersama Kuasa Hukum Jhon Stapan Riau Lend Pasaribu,S.H terkait keterlibatan Rafles dalam pembunuhan sadis tersebut.
Jhon Pasaribu menyebutkan bahwa sejak awal, Rafles Lakasa mengaku, dari 9 pelaku yang terlibat dalam kasus yang menghebohkan ini hanya ada satu yang ia kenal, yaitu Pratu RAS. Perkenalannya bersama Pratu RAS terjadi kurang lebih sebulan sebelum tanggal 22 Agustus 2022 (waktu 4 korban dimutilasi). Keduanya berkenalan di Pohon Jomblo saat Pratu RAS menawarkan beras Bulog kepada Rafles. Sejak perkenalan itu, keduanya tidak intens bertemu hingga akhirnya Rafles dijemput Pratu RAS menuju TKP.
“Saudara Rafles ini hanya mengenal satu orang saja dari 9 pelaku itu. Rafles juga sama sekali tidak tahu menahu terkait setting-an dan maksud lain atas pertemuan antara para pelaku dan para korban. Saat itu Rafles hanya mengikuti ajakan dari Pratu RAS dengan tujuan melakukan penangkapan terhadap anggota Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Rafles mengikuti ajakan Pratu RAS, karena keduanya sama-sama berasal dari Kendari,” ungkap Jhon usai mendampingi Rafles pada sidang perdananya di PN Timika, Kamis (26/1/2023).
Saat terjadinya situasi pembantaian terhadap 4 korban, Rafles merasa ketakutan dan berupaya kabur dari TKP di Jalan Budi Utomo Ujung Timika. Namun langkahnya dicegat oleh seorang terdakwa yang merupakan oknum TNI, kemudian diintimidasi dan diperintahkan untuk mengangkat jasad salah satu korban yang kemudian diketahui bernama Arnold Lokbere.
“Setelah melihat tindakan kekerasan kepada para korban, Rafles gemetaran dan ketakutan, sehingga ia berupaya kabur dari TKP, tetapi dicegat oleh salah satu terdakwa dan diperintahkan untuk mengangkat jasad satu korban ke dalam mobil,” ujarnya.
Usai mengangkat satu jasad korban ke dalam mobil, Rafles mengaku memohon agar diantar dan diturunkan di Irigasi, tepatnya di wilayah Pohon Jomblo. Dengan demikian, Rafles tidak ikut dalam rangkaian berikutnya hingga ke kali Kaugapu tempat pembuangan potongan tubuh para korban.
“Rafles sama sekali tidak ikut dalam rangkaian berikutnya seperti mencari karung, mencari bensin, mengumpulkan batu, memotong tubuh para korban, membakar mobil termasuk menenggelamkan tubuh para korban di kali Kaugapu,” kata Jhon.
Keesokkan harinya, Rafles ditemui Pratu RAS dan diberi uang Rp 2.000.000, namun Rafles sama sekali tidak mengetahui asal usul uang tersebut karena Pratu RAS langsung mencekal tiap kali Rafles menanyakan apa alasannya. Setelah Pratu RAS pergi, Rafles pun berpikir bahwa uang Rp 2.000.000 tersebut merupakan ucapan terimakasih dari Pratu RAS atas sertifikat tanahnya yang dipakai sebagai jaminan oleh Pratu RAS untuk meminjamkan uang di Bank.
“Rafles tidak tahu kalau ada juga sejumlah uang yang diambil dari para korban. Rafles juga tidak tahu kenapa Pratu RAS memberinya uang Rp 2 juta. Saat Rafles itu tanya, Pratu RAS menjawab pegang saja. Akhirnya Rafles malah berpikir kalau uang tersebut sebagai tanda terimakasih, karena sebelum kasus itu Pratu RAS pinjam sertifikat tanahnya sebagai jaminan untuk pinjaman uang di Bank. Seandainya ia tahu itu uang rampasan dari para korban, bagaimana mungkin dia mau terima,” jelasnya.
“Rafles terjerat dalam kasus ini pada waktu dan tempat yang salah,” ujarnya.
Mirisnya, saat Rafles terseret dalam perkara ini, istrinya sementara menjalani kemoterapi lantaran menderita sakit kanker. Dalam kondisi itu, Rafles sempat putus asa, sampai mencoba mengakhiri hidupnya (bunuh diri).
“Istrinya sampai saat ini sementara menjalani kemoterapi di Makassar. Anaknya satu orang berusia sekitar 20 tahun,” katanya.
Mengacu pada keterangan dan kesaksian itu, Jhon Pasaribu mengharapkan agar kliennya yang berusia 52 tahun itu bisa bebas demi hukum. Kalau pun tidak dibebaskan demi hukum, setidaknya dijatuhi hukuman seringan-ringannya sesuai pasal 164 KUHP.
Wartawan : Acik
Editor : Jimmy
Sumber: SALAM PAPUA Read More