Pesta Adat Arapao, PT Freeport Indonesia dan Pelestarian Budaya Suku Kamoro

TIMIKA – Suku Kamoro adalah suku di Papua yang memegang teguh adat dan budaya. Mereka berdiam di wilayah pesisir Mimika salah satunya di Kampung Nayaro, Distrik Mimika Baru. Kampung Nayaro berada di tengah area operasional PT Freeport Indonesia.

Meski demikian, keberadaan PTFI tidak menggerus adat dan budaya. Justru, PTFI turut mendukung pelestarian budaya. Salah satunya mendukung pesta adat arapao, yang digelar masyarakat Kampung Nayaro dari empat taparu, Jumat (9/9/2022).

Arapao, sebutan masyarakat Kamoro bagian timur adalah sebuah upacara adat pendewasaan bagi anak laki-laki Suku Kamoro. Bagi masyarakat Kamoro yang berada di wilayah barat mulai dari Atuka hingga Potowaiburu, upacara ini disebut karapao.

Dengan dukungan PTFI, pesta adat yang baru pertama kali dilakukan sejak 40 tahun terakhir ini bisa kembali digelar oleh masyarakat Kampung Nayaro. “Jadi terima kasih banyak kepada PTFI. Karena semua disupport, itu tidak bisa kita pungkiri, jadi semua didukung oleh manajemen Freeport. Terima kasih kepada Pemda dan TNI, Polri yang telah mendukung adanya penyelenggaraan acara berjalan dengan baik,” ujar Ketua Lembaga Musyawarah Suku Kamoro (Lemasko), Gerry Okoare.

Tidak hanya secara materi, dukungan juga diwujudkan lewat kehadiran manajemen PTFI menyaksikan pesta adat arapao bersama masyarakat Nayaro. Diantaranya EVP Technical Services, Christopher Edward Zimmer, VP Community Relation, Engel Enoch serta para tamu undangan lainnya yang turut menggunakan kapur merah di wajah sebagai tanda kegembiraan menyambut pesta dan anak yang sudah dewasa.

Gerry Okoare mengatakan, budaya harus diwariskan secara turun temurun. Setelah 40 tahun, arapao kembali digelar sebagai pengingat kepada generasi penerus. Lemasko sebagai mitra PTFI akan kembali mengagendakan pesta adat ini setiap lima tahun sekali.

Tidak hanya di Nayaro, kegiatan serupa juga akan digelar di Nawaripi. “Saya berharap tahun berikutnya, per lima tahun kami akan adakan terus. Untuk mengingatkan kembali supaya anak cucu tidak lupa warisan budaya leluhur. Nilai budaya sangat penting, supaya anak cucu kita, ternyata ada pesta adat dan diturunkan ke generasi berikutnya,” jelasnya.

VP Community Relation PTFI, Engel Enoch mengatakan selain program pembinaan di bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan, PTFI juga memiliki komitmen yang sama untuk pelestarian budaya. Sejak persiapan hingga puncak acara adat, PTFI memberikan dukungan penuh. Menyiapkan tempat, transportasi bagi masyarakat hingga bahan makanan.

Kampung Nayaro, sebagai kampung yang terdampak langsung operasi perusahaan berupa sedimentasi tailing, merupakan salah satu desa binaan PTFI. “Program yang kita lakukan di sini banyak baik kesehatan, pendidikan, ekonomi, transportasi, cukup banyak. Tidak bisa disebutkan satu per satu dan terus berkelanjutan,” katanya.

Pelestarian budaya kata Engel, merupakan salah satu tanggungjawab perusahaan dengan melakukan mitigasi terhadap risiko akibat operasi perusahaan. PTFI menggandeng Yayasan Maramowe untuk bersama-sama melestarikan budaya Suku Kamoro tidak hanya di Nayarao tapi hampir di semua kampung di pesisir Mimika.

//Pesta Arapao, Upacara Pendewasaan Anak Suku Kamoro Menuju Kemandirian

Pesta adat arapao di Nayaro diikuti oleh 76 orang anak laki-laki usia 10-15 tahun dari empat taparu atau kampung. Persiapan sudah dilakukan sejak setahun lalu. Dimulai dengan mempersiapkan anak yang memang dinyatakan siap. Anak yang terpilih adalah mereka yang diusulkan oleh ipar atau suami dari saudara perempuan bapak sang anak.

Setelah anak siap, maka tua-tua adat berkumpul untuk berunding. Jika tuan kakuru atau yang punya acara mengizinkan maka persiapan mulai dilakukan dengan membangun rumah adat. Tapi pembangunan rumah tidak dilakukan oleh orang yang sembarangan. Mencari kayu pun ada tuan sendiri.

Rumah adat dibangun dengan ukuran panjang 100 meter dan lebar sekitar 7 meter. Bahannya menggunakan hasil alam di sekitar kampung seperti kayu, atap nipa, dinding menggunakan kopa atau tikar khas Kamoro.

Sebuah patung yang diyakini memiliki roh leluhur berdiri tegak di depan rumah adat. Ini diyakini, sebagai pelindung bagi masyarakat kampung untuk menyuburkan tanah sebagai sumber kehidupan dan memberikan kesehatan bagi masyarakat kampung.

Rumah adat disekat. Ada 34 kamar. Sebelum upacara dimulai, anak-anak berdiam di dalam kamar. Kamar ini hanya bisa dimasuki oleh laki-laki. Begitu upacara dimulai yang ditandai dengan bunyi gong dan tifa maka masyarakat spontan menari seka dan mengundang anak keluar dari kamar.

Ipar, atau suami saudara perempuan sang bapak dari anak memanjat sebuah kayu penyangga di depan rumah adat mengambil tauri (pakaian rumbai) yang tergantung di pucuk tiang. Kemudian tauri dipakaikan kepada anak.

Diiringi tarian seka, prosesi adat dilakukan berurutan. Setelah memakai tauri. Dilanjutkan dengan prosesi memecahkan kerang/siput di atas kepala sang anak yang menandakan sang anak bisa mencari makan sendiri. Siput/kerang adalah makanan pokok orang Kamoro.

Sesudah itu, ujung tauri atau pakaian rumbai dibakar dan dipadamkan oleh anak dengan harapan lebih cepat dewasa. Prosesi terakhir, seluruh warga berlarian ke sungai untuk mandi bersama.(*)

Sumber: Pojok Papua Read More

Pos terkait