Ketua MRP, Timotius Murib menyalami pimpinan rapat setelah mnyerahkas aspirasi saat RDP di Gedung DPR RI, Jakarta.
(Foto: Istimewa)SALAM PAPUA (TIMIKA)-Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib menyampaikan padangan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) pemekaran Daerah Otonomo Baru (DOB) di Provinsi Papua dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Anggota Komisi II DPR RI di Jakarta pada Rabu (22/6/2022) kemarin.
Dalam press release yang diterima Salam Papua Kamis (23/6/2022) pagi, Timotius menjelaskan MRP adalah lembaga representasi kultural orang asli Papua. MRP mempunyai wewenang khusus yang diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) nomor 21/2001 tentang otonomi khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua.
Salah satunya adalah memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya, sesuai Pasal 20 ayat (1) huruf e UU Otsus Papua tersebut.
Terkait dengan wacana kebijakan pembentukan DOB di Provinsi Papua Ketua MRP mengatakan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara jelas memberikan arahan perihal pembentukan daerah-daerah otonom, dalam rangka mewujudkan tujuan nasional yakni melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan seluruh warga Negara Republik Indonesia berdasarkan falsafah negara, yaitu Pancasila.
Demikian pula dalam ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi ‘negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang’.
Ia mengungkapkan Bung Hatta sebagai salah salah satu proklamator Republik Indonesia pernah mengatakan bahwa, memberikan otonomi kepada daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi tetapi juga mendoring berkembangnya oto-aktivitas. Artinya bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri. Dengen berkembangnya oto-aktivitas tercpailan apa yang dimaksud dengam demokrasi, yakni pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Maka rakyat tidak saja menentukan nasibny sendiri melainkan memperbaiki nasibnya sendiri.
Sehingga jika kaidah konstitusional UUD 1945 dan pandangan Bung Hatta itu dihubungkan dengan otonomi khusus Papua, maka tentu akan membayangkan terciptanya pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat dan untuk rakyat Papua. Itu dapat diartikan pula sebagai sebuah pemerintahan yang kebijakannya telah dirumuskan dengan melibatkan rakyat.
Namun sayangnya, bayangan ideal itu belum tercermin sepenuhnya dalam kenyataan. Dalam hal ini, MRP melihat dua kebijakan yang bermasalah dari segi pelibatan rakyat Papua maupun dari segi substansi kebijakan.
Pertama, permasalahan terkait UU nomor 2/2021 tentang perubahan kedua UU nomor 21/2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua. Kedua, permasalahan terkait pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi atau DOB.
Pihaknya menyesalkan proses perubahan UU yang tidak melalui usul rakyat Papua, sebagaimana diamanatkan oleh pasal 77 UU Otsus yang berbunyi ‘usul perubahan atas UU ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan’. Meskipun menggunakan kata ‘dapat’ ketentuan ini memiliki semangat Otsus yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Amanat pasal 77 pernah diupayakan melalui diadakannya rapat-rapat dengar pendapat rakyat di Provinsi Papua sebelum adanya perubahan kedua UU Otsus. Upaya ini penting karena selaras dengan amanat Presiden Republik Indonesia dalam rapat terbatas kabinet pada 11 Maret 2020, yang mengajak semua kalangan termasuk orang asli Papua untuk mengevaluasi UU Otsus.
Jadi sebelum perubahan kedua UU Otsus bergulir di DPR RI, MRP telah mengadakan kegiatan RDP dengan masyarakat di 28 kabupaten dan 1 kota yang tersebar di lima wilayah adat. Sayangnya, atas kecurigaan tertentu upaya ini dihambat. Jajaran aparat keamanan di bawah instruksi Kapolda dan Kabinda Papua melarang kegiatan RDP yang sebenarnya merupakan kegiatan resmi dari pelaksanaan tugas dan wewenang MRP.
“Sayangnya, hal ini diabaikan. Aparat menghalangi warga, membubarkan rapat, hingga menangkap dan memborgol beberapa staff kami seperti yang terjadi di Merauke. Akibatnya, bukan hanya MRP tak dapat melakukan tugas dan wewenang yang diberikan Undang-Undang, yaitu menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyat orang asli Papua. Tetapi perubahan kedua Undang-Undang Otsus pun kurang mendapatkan dukungan atau legitimasi dari rakyat Papua. Singkatnya, keseluruhan uraian ini menunjukkan adanya proses formil yang cacat, yang setidaknya tercermin dari tidak adanya konsultasi dan partisipasi yang bermakna rakyat Papua,” kata Timotius.
Ia mengatakan substansi UU hasil perubahan kedua juga ternyata mengandung substansi yang merugikan hak-hak orang asli Papua. Hal ini tercermin dalam sejumlah pasal yang berubah, bertambah dan ada pasal penting yang justru berkurang, yang keseluruhannya berjumlah sebanyak 19 pasal.
Padahal, surat Presiden RI tanggal 4 Desember 2020, isinya mengamanatkan perubahan terbatas pada tiga pasal, yaitu pasal 1 tentang ketentuan umum, pasal 34 keuangan daerah, dan pasal 76 tentang pemekaran Papua.
Bahkan setelah dikaji oleh MRP, setidaknya ada sembilan yang secara substansial merugikan hak-hak orang asli Papua. Karena itulah, MRP bersama MRP Papua Barat mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi sebagai pilihan upaya hukum yang bermartabat.
“Sebenarnya ada pula keingingan kami untuk melakukan uji formil. Tetapi kami mencoba percaya, pimpinan dan para anggota DPR RI dapat memahami langkah kami ke MK tersebut. Kami memperkirakan bahwa MK akan mengambil putusan pada waktu yang tidak lama lagi,” ucapnya.
Ketua MRP mengaku, menyesalkan proses formulasi pembentukan DOB atau pemekaran Papua yang tidak memperhatikan aspirasi rakyat Papua sesuai semangat otonomi khusus dan tak sesuai dengan amanat ketentuan pasal 76 UU Otsus sebelum perubahan kedua.
Sebelum perubahan kedua, ketentuan pasal ini berbunyi ‘pemekaran Papua menjadi provinsi- provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP’. Ini artinya jelas, bahwa tanpa persetujuan dari MRP dan DPRP, maka tidak sepatutnya boleh ada pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi baru. Namun setelah perubahan kedua, terdapat tambahan ayat di pasal yang tersebut yang menyatakan pemerintah dapat melakukan pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dengan dalih guna mempercepat pembangunan.
“Kami menghormati pendapat yang mengatakan bahwa konsep otonomi pada umumnya memungkinkan dilakukannya pemekaran provinsi oleh pemerintah pusat, sebagaimana diatur Undang-Undang Otonomi Daerah. Namun menurut pendapat kami, Papua bukan berstatus otonomi daerah, sebagaimana disandang provinsi-provinsi pada umumnya di Indonesia. Papua berstatus otonomi khusus. Karena itulah maka tambahan ayat yang memungkinkan pemekaran provinsi dapat dilakukan oleh pemerintah pusat yang tanpa persetujuan daerah/MRP membuat semangat otonomi khusus ini menjadi hilang. Tidak perlu heran jika kembali timbul kekecewaan yang meluas di kalangan rakyat Papua,” ucapnya.
Ada empat faktor lain yang disampaikan yakni ketentuan yang sama, yaitu Pasal 76, juga mengamanatkan syarat-syarat tertentu yang wajib dipenuhi sebelum pemekaran dilakukan. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah mempertimbangkan kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa yang akan datang.
Untuk faktor kesatuan sosial budaya penting dipertimbangkan karena Papua memiliki sekitar 250 suku. Mempertimbangkan faktor ini adalah cermin penghormatan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pembentukan tiga DOB yang diusulkan DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri saat ini belum mempertimbangkan kesatuan sosial-budaya. Berbeda halnya dengan usulan dari Gubernur Papua Lukas Enembe di mana pembentukan DOB mendasarkan pada tanah adat di Papua. Usulan Gubernur lebih masuk akal dibanding usul Mendagri.
Kemudian faktor kesiapan sumber daya manusia juga sangat penting karena saat ini masih banyak kantor di pemerintahan provinsi Papua yang kekurangan sumber daya manusia. Bahkan kantor yang ada pun belum signifikan terisi terutama oleh orang asli Papua.
Belum lagi jika mempertimbangkan situasi keamanan karena menurut para akademisi, salah satunya dari Universitas Negeri Papua (UNIPA) Dr. Agus Sumule, wilayah- wilayah yang akan dimekarkan itu masih memiliki Indeks Pembangunan Manusia yang rendah. Dr. Sumule menyarankan pemekaran ini ditunda, dan pemerintah fokus pada perbaikan tata kelola pemerintahan daerah dan meningkatkan akses OAP pada pendidikan yang bermutu.
Selanjutnya faktor kemampuan ekonomi. Ini tidak kalah penting. Alasan ekonomi berupa rendahnya pendapatan asli daerah (PAD) di sebuah provinsi adalah salah satu alasan pemerintah pusat memberlakukan moratorium pembentukan DOB secara nasional. Pemerintah juga memberlakukan moratorium karena khawatir jika DOB akan membebani anggaran negara, di tengah kondisi fiskal keuangan negara sedang diberi arahan prioritas pada penanggulangan wabah, kesehatan dan infrastruktur.
“Pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi yang diklaim meningkatkan kesejahteraan harus disertai dengan dana yang sangat besar, masalahnya ini uangnya dari mana? Tidak ada relevansinya pemekaran DOB dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua, apalagi rencana ini diformulasi dengan tergesa-gesa,” terangnya.
Kemudian faktor perkembangan di masa depan. Hingga saat ini belum ada kajian yang memberikan proyeksi perkembangan Papua di masa depan. Tanpa ada kajian terlebih dahulu, termasuk terkait dengan kebijakan Daerah Otonomi Baru, maka MRP khawatir situasi Papua justru bertambah semakin kurang kondusif.
Ada faktor lain yang juga bisa ditambahkan selain apa yang saya uraikan. Sebagai contoh, di antara berbagai kemacetan pelaksanaan Otsus setidaknya terdapat tiga peraturan daerah khusus (Perdasus) yang sangat penting namun tidak mendapatkan dukungan Menteri Dalam Negeri selaku wakil Pemerintah Pusat. Tiga Perdasus yang dimaksud yakni Perdasus tentang defenisi orang asli Papua, Perdasus tentang partai politik lokal dan tentang penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua. Ketiga Perdasus ini penting untuk memastikan partisipasi, representasi, dan kepemimpinan orang asli Papua di dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana dibayangkan oleh Bung Hatta.
“Sekali lagi, tentu ada faktor lain yang bisa dibahas pula dalam pertemuan ini khususnya terkait DOB. Tetapi secara singkat, pertanyaan terpenting yang perlu dijawab secara jujur adalah apakah wacana kebijakan tentang pemekaran Papua benar-benar solusi tepat dalam memperbaiki situasi di Papua? Atau apakah memang kebijakan ini telah didahului kajian ilmiah berdasarkan keempat pertimbangan tersebut? Sepertinya masih jauh panggang dari api,” ucapnya.
Ketua MRP mengungkapkan pihaknya sudag menemui para pimpinan partai politik seperti Airlangga Hartarto dari Golkar, Sufmi Dasco Ahmad dari Gerindra, Zulkifli Hasan dari PAN, Muhaimin Iskandar dari PKB, Suharso Monoarfa dari PPP dan Ahmad Syaikhu dari PKS, hasilnya ternyata tidak ada satu pun pimpinan partai yang menyatakan telah menerima kajian ilmiah yang komprehensif.
“Mereka rata-rata menyatakan akan menghormati apa pun putusan Mahkamah Konstitusi. Ambil contoh pernyataan Pak Suharso, beliau mengatakan setuju untuk mempertimbangkan kebijakan DOB ini sampai ada putusan MK. Pak Airlangga, Pak Muhaimain, Pak Dasco dan juga Pak Syaikhu setuju agar putusan MK menjadi rujukan. Pak Zulkifli bahkan mengatakan DOB ini sebaiknya ditunda hingga Pemilu 2024 selesai dilaksanakan,” ungkapnya.
Ia menyebutkan telah membaca pernyataan Ketua Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang juga merupakan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri yang mempertanyakan langkah kebijakan pemekaran provinsi yang tanpa memperhatikan faktor-faktor obyektif melalui riset. “Salah satu yang dipertanyakan oleh Megawati adalah apakah potensi pendapatan asli daerah sudah diperhatikan? Lalu Ibu Mega selanjutnya meminta agar BRIN melakukan riset. Jangan lupa, Presiden dan Wakil Presiden juga sedang meminta Gubernur Lemhanas untuk melakukan kajian soal Papua,” ujarnya.
Selain itu, lanjut dia Megawati dan Lemhanas serta banyak kalangan akademisi dan lembaga pegiat masyarakat sipil yang mengkritisi kebijakan pemekaran provinsi Papua.
Di Papua sendiri, selain berbagai unjuk rasa yang dilakulan oleh masyarakayt, MRP juga telah menerima aspirasi penolakan pembentukan DOB yang disampaikan oleh berbagai kelompok diantaranya termasuk Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Cendrawasih dan sejumlah perguruan tinggi lain, Petisi Rakyat Papua (PRP) sampai delegasi DPRD Dogiyai, dan Yahukimo yang telah diserahkan langsung kepada MRP. Ada banyak lagi aspirasi dari berbagai kelompok masyarakat dan orang asli Papua Kebijakan ini memicu penolakan sosial yang tinggi melalui berbagai aksi unjuk rasa di Tanah Papua, antara lain di Jayapura, Wamena, Sorong, Kaimana, Timika, Nabire, Yahukimo, Mamberamo Tengah, dan Lanny Jaya. Unjuk rasa di Yahukimo Maret lalu, berujung kekerasan aparat yang mengakibatkan sejumlah warga yang mengikuti unjuk rasa mengalami luka-luka, dua diantaranya tewas.
Unjuk rasa juga terjadi di Jakarta, Kupang, Ambon, Makassar, Bali, Surabaya, Malang, Semarang dan Yogyakarta. Rata- rata mereka menolak dua kebijakan tersebut.
Memang ada unjuk rasa yang menerima DOB seperti di Merauke dan Manokwari. Namun sulit untuk tidak mengatakan bahwa sebagian besar sikap rakyat Papua yang tercermin dari unjuk rasa tersebut, cenderung bersikap menolak, termasuk menolak ide pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi yang dilakukan tanpa partisipasi dan konsultasi rakyat Papua. Merujuk ketentuan Pasal 76 UU Otsus nomor 21/2001 pihaknya juga menilai pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi bisa dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP.
“Dengan memperhatikan berbagai situasi obyektif itulah, maka kami mengajak siapa pun terutama kita semua yang ada di sini untuk mendorong kondisi yang kondusif di Tanah Papua dengan memperhatikan aspirasi rakyat Papua,” katanya.
Dari semua pandangan yang sudah disampaikan Timotius menyimpulkan sebenarnya pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi, dalam hal ini pembentukan suatu daerah otonom baru, baik provinsi ataupun kabupaten/kota, bukanlah sesuatu yang tabu untuk dilakukan sejauh langkah itu mematuhi kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Oleh karena itu sebelum lebih jauh dengan pembentukan DOB di Provinsi Papua, pihaknya meminta agar ada kajian yang komprehensif terlebih dahulu serta adanya putusan Mahkamah Konstitusi. Ini artinya bahwa sebaiknya Pemerintah dan DPR RI melakukan penangguhan sementara atas Rancangan UU DOB.
“Kami berharap adanya kebijaksanaan dari Pimpinan dan Anggota Komisi II DPR RI untuk mempertimbangkan pandangan MRP dan menjadikannya sebagai landasan pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan selanjutnya,” ucapnya.
Wartawan/Editor: Yosefina