JAYAPURA | Ibu kandung almarhum Michelle Kurisi Doga, Elisabeth Mandosir didampingi suaminya mendatangi Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua di Kota Jayapura, Papua, Kamis (7/9/2023).
Mengenakan baju kaos hitam, wajah Elisabeth masih terlihat murung. Sesekali ia tersenyum, namun aura kesedihannya tetap tak dapat disembunyikan atas kehilangan anak perempuan satu-satunya itu.
Di hadapan Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey, dan Sub Koordinator Bagian Pelayanan Pengaduan Komnas HAM Perwakilan Papua Melchior Weruin, Elisabeth menaruh harapan besar agar lembaga negara yang mengurus pelanggaran HAM ini dapat mengawal dan membantu kasus kematian anaknya agar benar-benar terungkap dengan sebenar-benarnya.
“Saya sudah melepaskan pengampunan kepada pembunuh anak perempuan saya (Michelle). Tapi kedatangan saya ke sini (Kantor Komnas HAM) hanya ingin tahu siapa pelaku sebenarnya yang membunuh anak kami. Jadi kami serahkan ke Komnas HAM dan kepolisian untuk diselesaikan sesuai aturan hukum yang berlaku di negara ini,” kata Elisabeth.
Dalam kesempatan ini, Elisabeth yang pernah bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit di Kabupaten Mimika, Papua Tengah ini, juga menyampaikan permintaan maaf.
“Saya sebagai ibu kandung Michelle, saya memohon maaf jika anak saya pernah melakukan kesalahan sehingga anak saya menjadi korban,” ucapnya.
“Saya tidak minta apapun, saya hanya minta pemerintah perhatikan dua anak Michelle. Saya tidak tuntut uang atau apapun seperti yang dilalukan pihak-pihak lain ketika anggota keluarga mereka jadi korban pembunuhan,” timpalnya.
Elisabeth sedikit mengenang sosok Michelle. Semasa hidup, Michelle dikenal sangat periang dan supel. Ia juga aktif dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan.
Karena memiliki jiwa sosial yang tinggi, Elisabeth kerap memanggil Michelle dengan sebutan ‘Ibu Menteri Sosial’.
“Temannya banyak, dia mudah bergaul. Sampai-sampai dia korbankan dua anaknya untuk anak-anak orang. Terbukti waktu pemakaman kemarin, anak-anak jalanan, aibon yang almarhum bina semasa hidupnya, mereka datang dan bernyanyi,” kata Elisabeth.
Elisabeth dan Michelle selalu berkomunikasi baik. Apapun yang dilakukan Michelle selalu diceritakan kepadanya. Bahkan Elisabeth dan suami kerap memantau pergerakan Michelle melalui media sosial (Facebook) yang dia miliki.
“Termasuk dia mau pergi ke Wamena. Dia bilang mau ke sana. Saya hanya ingatkan kamu hati-hati ya nak. Terakhir kami komunikasi tanggal 24 Agustus 2023. Setelah itu lost contact sampai kami dapat info tanggal 28 Agustus 2023 kalau dia meninggal karena dibunuh TPN l-OPM,” tutur Elisabeth dengan nada sedih.
Sebagai ibu kandung, hati Elisabeth sangat terpukul. Ia pun meminta TPN-OPM, KKB atau sejenisnya untuk tidak lagi membunuh manusia, entah itu orang asli Papua (OAP) atau pendatang.
“Sudah banyak yang kalian (TPN-OPM) bunuh. Jangan lagi terjadi seperti ini. Saya mengampuni kalian, saya berdoa yang baik untuk anak cucu kalian,” katanya menitikkan air mata.
“Terima kasih Pak Kapolri dan Panglima TNI serta masyarakat yang telah membantu evakuasi jenazah Michelle. Terima kasih juga untuk Pak Kapolda,” timpal Elisabeth.
Sementara itu, Frits Ramandey mengatakan kematian Michelle tentu menjadi atensi besar Komnas HAM Perwakilan Papua untuk mengungkap kasusnya.
“Kami (Komnas HAM) sebagai lembaga negara ingin kasus ini bisa menemui titik terang. Kasus ini tidak lagi menjadi bulan-bulanan pertanyaan dari warga negara Indonesia khususnya orang-orang Papua terhadap kebijakan negara untuk menyelesaikan kasus ini. Apalagi pimpinan Komnas HAM RI juga atensi, jadi kami diberikan mandat untuk menyelesaikan kasus ini,” kata Frits.
Lanjut Frits, kasus kematian Michelle ini masuk dalam kategori pelanggaran HAM sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Frits menjelaskan, hanya dua yang diketahui dalam elemen kemanusiaan, yakni pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat.
“Tentu dua elemen ini punya mekanisme sendiri untuk memastikan bahwa unsurnya terpenuhi atau tidak. Saya mau tegaskan dalam kasus ini bahwa, ada seseorang yang meninggal dengan cara yang tidak wajar akibat kekerasan, itu termasuk pelanggaran HAM, tapi apakah ini pelanggaran HAM berat? Tentu kami belum bisa memberikan kesimpulan,” tegasnya.
Kendati TPN-OPM telah memberikan pengakuan bahwa pelaku pembunuhan Michelle Kurisi Doga adalah pihak mereka, namun klaim tersebut tetap harus dibuktikan.
“Kami punya satu mandat berdasarkan undang-undang sebagai penyelidik, sehingga kami tidak bisa serta merta memegang kata-kata seseorang tanpa adanya bukti autentik meski sudah ada korban yang meninggal dunia,” terang Frits.
Dijelaskan bahwa kasus pembunuhan Michelle ini sudah memiliki dua bukti, yakni korban dan sudah dilakukan proses autopsi.
“Walaupun sudah ada pengakuan dari orang yang katanya melakukan pembunuhan tersebut. Tapi sekali lagi, kita butuh pembuktian yang lebih dalam, karena pengujian itu harus ada bukti dan saksi, sehingga ini menjadi tanggung jawab kepolisian dan Komnas HAM untuk membuktikan,” ujar Frits.
Frits pun tak memberikan batas waktu (deadline) dalam menuntaskan kasus pembunuhan Michelle.
“Intinya kami bekerja. Tidak ada batasan waktu. Kita berharap semoga selekasnya tuntas,” harap Frits.
Artikel ini telah tayang di seputarpapua.com
LINK SUMBER : Menitikkan Air Mata, Ibunda Michelle Curhat ke Komnas HAM Papua