Oleh : Etty Octaviani Manalu
Kesetaraan perempuan hingga saat ini masih menjadi gagasan yang terus dibahas.
Bahkan terkait posisi kepemimpinan, perempuan masih saja dianggap tidak mampu
ataupun dianggap tidak pantas. Djafri (2014) mengatakan bahwa, hingga saat ini, adanya
Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) terus diperjuangkan dimana dapat merubah posisi
seorang ibu rumah tangga menjadi seorang pemimpin, perempuan pebisnis dan wanita
karier yang mampu bersaing dilingkungan pemerintahan, ekonomi, politik, sosial dan
budaya serta seni bahkan di kepolisian yang awalnya hanya dibolehkan kepada kaum adam.
Selanjutnya, dalam buku “Sex and Gender” yang ditulis oleh Hilary M. Lips (2008)
mengartikan gender sebagai harapan – harapan budaya terhadap laki – laki dan perempuan.
Misalnya : perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan.
Sementara laki – laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa.
Fakta kepemimpinan perempuan menurut Kanter (1976), ada empat faktor yang
berpengaruh dalam kepemimpinan perempuan yaitu : The Mother (keibuan); The Pet
(Kesayangan); The Sex object (Objek seksual); dan The Iron Maiden (wanita besi).
Perempuan dapat menjadi pemimpin bila dididik dengan cara berbeda dan tidak selalu
menganggap diri mereka sebagai perempuan, melainkan bagian dari sesama manusia.
Dewasa ini, makin banyak wanita yang bekerja dibidang pekerjaan laki-laki. Mereka tidak
saja bisa bertahan, namun juga sukses menjadi pemimpin. Kaum perempuan pun bisa
menunjukkan dirinya sebagai makhluk yang luar biasa kuat dan berani, dan tidak kalah dari
kaum laki – laki. Salah satu kepemimpinan perempuan yang masih terus menjadi
pembahasan adalah peran perempuan sebagai pemimpin sebuah sekolah atau Kepala Sekolah (Kepsek).
Fitriani (2015) menuturkan bahwa, tipe gaya kepemimpinan perempuan secara umum
yaitu kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan feminim. Kepemimpinan
transformasional merupakan konsep yang relevan pada situasi dimana perubahan terjadi
sangat cepat dan menuntut setiap organisasi untuk dapat menyesuaikan diri adalah konsep
kepemimpinan transformasional. Studi Coleman (2000) menunjukkan bahwa para kepala
sekolah dan para manajer senior perempuan lainnya di Inggris dan Wales mengindikasikan
mereka cenderung berperilaku model kepemimpinan transformatif dan partisipatif. Namun
harus diakui bahwa jabatan kepala sekolah yang dipimpin oleh seorang perempuan
memang masih sangat jarang bahkan hingga saat ini.
Beberapa penelitian untuk membuktikan benar atau tidaknya pandangan kepemimpinan
kepala sekolah perempuan terus dilakukan. Hasil penelitian oleh Arista Dwi Saputri (2015)
membuktikan bahwa Psikologi pembawaan perempuan yang selama ini dianggap lemah,
tidak berprestasi dan emosional dalam kepemimpinan perempuan dalam lembaga
Pendidikan tidak benar. Lain hal dengan penelitian oleh Charisma Ma’Rifati (2020)
menggambarkan bahwa adanya anggapan sebagian masyarakat atau warga sekolah bahwa
perempuan itu lemah, tidak tegas, tidak bisa memberi keputusan, kurang bisa mengayomi
dan tidak pantas menjadi pemimpin. Namun, anggapan tersebut dihapus dengan adanya
usaha nyata, bekerja keras dan membawa perubahan menuju lebih baik, lagi katanya
kepemimpinan perempuan disekolah ini, kepala sekolah mampu mewujudkan hubungan
kekerabatan yang baik, mampu memberdayakan para tenaga pendidik, serta mempunyai
kecerdasan emosional yang tinggi.
Paparan terkait hasil penelitian kepemimpinan kepala sekolah perempuan diatas
membuktikan bahwa selama ini, pandangan negatif yang terus menerus berdatangan terkait
kepemimpinan perempuan tentu sangat tidak benar. Buktinya di era saat ini keberadaan
kepemimpinan perempuan memberi warna baru di dunia kepemimpinan, misalnya saja
ketua DPR RI yang saat ini menjabat merupakan seorang perempuan, atau kepemimpinan
senior yang masih eksis sampai hari ini yaitu kepemimpinan Ratu Elisabeth II yang terus
bertahan di saat usianya bahkan sudah tidak muda lagi.
Terlepas dari rumitnya sepak terjang kepemimpinan perempuan, tak bisa dipungkiri
bahwa seorang perempuan setinggi apapun jabatan atau karirnya akan tetap kembali kepada
hakikatnya sebagai seorang perempuan. Bagi seorang perempuan karir yang telah berumah
tangga, saat keluar dari rumah sepenuhnya adalah seorang pemimpin atau perempuan yang
bekerja namun pada saat kembali kerumah, perempuan akan tetap menjadi seorang istri dan
ibu yang baik dan akan terus melakukan segalanya untuk keluarga tercinta.
Kedepannya kepemimpinan perempuan bisa lebih menjadi salah satu prioritas bagi
seluruh lembaga pemerintahan, terutama lembaga Pendidikan terkait kepemimpinan kepala
sekolah perempuan. Sisi keunikan dan khas yang dimiliki dari seorang perempuan yang juga
sebagai seorang ibu, bisa menjadi salah satu faktor yang turut dipertimbangkan. Sehingga
kedepannya, gerakan “EMANSIPASI WANITA” yang terus menerus diserukan bukan
hanya menjadi kicauan belakang namun terus menjadi gerakan yang membawa perubahan
dalam kepemimpinan. (**)
Penulis adalah guru SMK Negeri 3 Mimika dan SMK Negeri 5 Mimika, saat ini sebagai Mahasiswi
Program Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Cendrawasih (UNCEN) Jayapura
The post Menelaah Pandangan Kepemimpinan Kepsek Perempuan Selama Ini appeared first on Timika Express.