Melihat Rumah Retret Loresa SCJ di Timika, Tempat Menjernihkan Hati

Hamparan pepohonan dan berbagai macam tanaman menghiasi sebuah lokasi yang terletak di Jalan Satrio Sari TSM- SP3, Kampung Karang Senang-SP3, Distrik Kuala Kencana, Timika, Papua Tengah.

Lokasi tersebut adalah Biara Prêtres du Sacré-Cœur de Jésus (SCJ) Santo Yosep Timika.

Ketika masuk ke dalam lingkungan ini, kita akan menemukan ketenangan, jauh dari hiruk pikuk keramaian kota, ada suasana ketenangan.

Tampak juga beberapa hewan peliharaan seperti ayam, bebek dan anjing. Ada pula tiga kolam ikan berukuran besar.

Lahan Biara SCJ Santo Yosep yang dibeli pada tahun 2001 dari transmigran berukuran 3,5 hektar ini, terdapat beberapa bangunan, yakni Biara SCJ.

Saat ini, Biara ditempati oleh para Pastor dari Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus atau SCJ.

Empat Pastor ini juga melakukan pelayanan seperti menjadi rektor di persekolahan-asrama Salus Populi SP3, Sekjen Keuskupan, menjaga dan pendampingan rumah retret, dan sebagai pastoral care.

Biara SCJ ini, merupakan bangunan pertama yang dibangun pada tahun 2008 berkonsep ruang terbuka, di tengah bangunan ketika masuk ke ruang tamu, mata kita disuguhi dengan sebuah taman dengan sebuah gazebo mini dan burung di dalam kandang.

Konsep bangunan ini merupakan konsep komunitas kelompok, kekeluargaan, dengan model kamar berhadap-hadapan sebagai gambaran komunikasi yang menjadi sangat vital dalam keluarga.

Halaman Biara SCJ Santo Yosep yang tampak asri. (Foto: Kristin Rejang/Seputarpapua)

Ada pula sebuah gedung Aula yang dinamakan Aula Loresa, aula yang diresmikan oleh Almarhum Uskup John Philip Saklil ini dibuat dan terbuka untuk umum, dengan berbagai kegiatan seperti pernikahan, rapat dan lainnya.

Di lingkungan Biara SCJ juga, ada dua bangunan rumah retret Loresa SCJ yang biasanya digunakan untuk masyarakat yang mau membuat kegiatan retret atau pendalaman rohani.

“Jadi dulunya disini masih daerah pertanian. Lalu kami berpikir bagaimana tempat ini berarti bagi masyarakat khususnya masyarakat Papua,” kata Pastor Policarpus Gunawan, SCJ kepada Seputarpapua.com, Sabtu (28/1/2023).

Pastor Policarpus mengatakan, hal yang mendesak adanya tempat retret adalah mengenai pengajaran. Dimana menurutnya saat ini banyak umat Katolik mengalami kekeringan dan kekosongan dari sisi pengetahuan iman.

Dikatakan, orang tua pada zaman sebelumnya jauh lebih memiliki pengetahuan iman. Namun di zaman sekarang dengan pendidikan dan teknologi yang semakin maju, ternyata iman makin merosot.

“Iman ini sangat miskin dan kurang, dimana-mana sama, bahkan ada banyak orang yang mengalami semacam menurut saya gegar iman, itu kekacauan dalam hal membatinkan kehidupan moralitas suara hati dan juga iman,” katanya.

Untuk itu, tempat retret yang nyaman dan tenang seperti ini perlu dihadirkan berikut dengan pendampingannya, yangmana tempat tersebut juga bagi orang yang beragama apa saja.

“Pertama-tama tempat yang nyaman dan tenang, sebab dengan tempat yang tenang, orang bisa mendengarkan suara hatinya sendiri, orang bisa mendengarkan suara dia yang maha kuasa yang berbicara melalui kitab suci. Terutama yang terancam adalah martabat pribadinya sendiri, tidak disadari dengan baik,” ujarnya.

Ia mengibaratkan sama pentingnya dengan keluarga, dimana keluarga sebenarnya tumpuan kehidupan bagi banyak orang. Tapi yang utama bukan rumah, meskipun keluarga membutuhkan rumah.

Namun, sekarang banyak orang yang justeru memilih mencari ketenangan di tempat-tempat yang salah dengan cara yang salah, bukan mencari ketenangan hati dengan cara yang baik.

Sehingga tempat yang dihadirkan di halaman Biara SCJ tersebut untuk memberikan ruang bagi yang ingin mencari ketenangan hati. Misalnya retret, atau pendalaman selama beberapa hari.

“Kalau singkat-singkat saja mereka bilang itu rekoleksi, dari kata Re-Collection yang artinya berkumpul kembali, berkumpul dengan siapa ? Manusia itu berasal dari sang pencipta dan kembali kepada sang pencipta. Jadi kalau orang selama ini tersesat dari akidahnya, dari imannya, dari ajaran yang kokoh, mari kita kembali,” kata Pastor Policarpus.

Kalau orang mau menyadari betul mengenai kepribadian dan hidupnya atau kesadaran spiritual adalah bukan hanya kepribadian sendiri, namun kesadaran awal sekurang-kurangnya orang harus sadar bahwa manusia harus hidup bersama dengan orang lain.

“Ciptaan bukan hanya dirinya sendiri, tapi bersama dengan yang lain, yang lain itu apa saja, makhluk lain, manusia lain, sesama ciptaan, sesama manusia. Nah itu tidak terbatas, mau kulitnya seperti apa, rambutnya seperti apa, agamanya seperti apa, pemikirannya seperti apa. Tidak ada yang persis sama karena setiap pengada itu unik, setiap substansi itu unik,” ungkapnya.

Kesadaran berikutnya adalah mulai sadar bahwa hidup itu bukan hanya bersama tetapi mulai ada dinamika memberi arti, tetapi juga sadar bahwa dunia itu juga diberi arti pada yang lain.

Siapa saja yang datang dan hadir untuk mencari ketenangan di rumah retret maupun Biara, patut diterima, karena mampu memberi arti lebih, ia mengibaratkan, jika manusia tidak sadar dan saling menerima, maka secara tidak langsung akan ada perasaan suatu berkat atau anugerah yang lewat bahkan hilang itu berarti hati kita kosong, jiwa kosong, robek, rusak dan tidak normal.

“Selama saya masih bisa menerima penghargaan dan memberikan penghargaan kepada semua yang datang, walaupun itu hanya burung lewat saya hargai, atau mungkin saya tiba-tiba lewat kok saya ini disengat lebah tetapi kalau saya ini sadar bahwa saya bersama yang lain, oh saya punya perbuatan salah maka saya harus mulai bertobat,” terangnya.

Ruang tamu di Biara SCJ Santo Yosep yang berkonsep ruang terbuka. (Foto: Kristin Rejang/Seputarpapua)

Tempat retret tersebut juga memberikan wadah pengajaran bahwa saya harus menjadi manusianya Allah, Tuhan yang maha kuasa, maka saya ambil sumber kebaikan yang berasal dari padanya.

Ditahap menyerah kata Pastor, yang namanya iman itu menyerah. Yang menurutnya, agama itu cuman budaya, dilembagakan atau diinstitusikan oleh setiap orang entah siapapun kemudian membawa aturan-aturan. Namun, iman itu datang dari pewahyuan maha kuasa dan tidak bisa dirubah, abadi selama-lamanya.

Dengan menyadari betapa pentingnya ketenangan diri, maka orang akan memperoleh kebebasan yang beroleh dari Tuhan, mampu menjadi manusia yang betul-betul soleh, suci, dan kudus.

“Orang seperti ini tidak bergantung dari sekat-sekat perbedaan manapun karena ia mampu bersyukur untuk menerima perbedaan itu sebagai kekayaan seperti hati yang kuasa sendiri. Artinya Allah sendiri masuk ke dalam hatinya,” ucapnya.

Dengan tujuan-tujuan tersebut, maka dibangunlah dua bangunan retret, satu bangunan yang terbuat dari kayu besi mirip seperti rumah waloan dengan 16 kamar yang sudah berdiri sekitar 4-5 tahun.

Karena sering didatangi banyak orang bahkan 20-30 orang, maka dibangun lagi satu rumah retret permanen yang telah diresmikan pada bulan November 2022 lalu dengan jumlah kamar sebanyak 24 dan dilengkapi dengan ruang rapat mini.

“Jadi rumah ini untuk urusan rohani, jadi semacam pendalaman hidup rohani sebagai contoh nanti tanggal 10-12 maret ada komunitas Marriage Encounter dari Jakarta akan kesini, seperti kelompok pasangan suami istri yang belajar menimbah kekuatan dari Tuhan, agar tidak terguncang dan terceraikan,” jelasnya. 

Pastor Policarpus mengatakan, dengan adanya rumah retret ini, sekurang-kurangnya mengurangi kekeringan orang dalam hal penghayatan iman kebersamaan.

“Kalau iman ini kan urusan pribadi kalau kebersamaan itu kita sama sama punya urusan dengan dia yang maha baik, maha kuasa, kudus, tetapi menghendaki bahwa kita hidup dalam cinta kasih dan kerukunan,” pungkasnya.

Artikel ini telah tayang di seputarpapua.com
LINK SUMBER : Melihat Rumah Retret Loresa SCJ di Timika, Tempat Menjernihkan Hati

Pos terkait