Kota Kuala Kencana dan Empat “Pelindung” Barunya

TIMIKA | Bundaran Kota Kuala Kencana, Kabupaten Mimika, Papua Tengah tampak berbeda kali ini. Empat patung yang dahulu berdiri dengan kokoh sudah berganti dengan patung baru, yang terlihat lebih segar warnanya. Hal itu terlihat dari warna cokelat cat yang berkilau.

Empat patung tersebut baru saja berdiri kokoh pada 19 Agustus 2023 menggantikan empat patung sebelumnya yang “melindungi” kota Kuala Kencana yang merupakan kawasan dataran rendag PT Freeport Indonesia.

Di Kota Kuala Kencana, selain dihuni para karyawan, juga ada kantor PT Freeport Indonesia dan fasilitas penunjang lainnya, seperti supermarket, kolam renang dan fasulitas lainnya.

Empat patung tersebut merupakan karya seni ukir Suku Kamoro yang mediami wilayah pesisir Pantai Mimika. Mereka menyebut hasil seni ukir tersebut dengan “Wemawe” (manusia).

Menurut Founder Maramowe Weaiku Kamorowe Luluk Intarti, Wemawe tidak hanya asal diukir, sebab patung tersebut adalah karya seni bentuk ekspresi kearifan lokal yang memiliki arti penghormatan kepada para leluhur Suku Kamoro. Wemawe menggambarkan figur leluhur orang Kamoro.

“(Wemawe) adalah ekpresi orang Kamoro untuk menghormati leluhurnya dengan membuatkan suatu ukiran untuk mengenang leluhur yang telah meninggal, namun memiliki suatu jasa terhadap kampung atau secara keseluruhan komunitas Kamoro,” paparnya saat ditemui seputarpapua.com 19 Agustus 2023 lalu di Kuala Kencana.

Luluk memaparkan, pengerjaan satu buah patung Wemawe memiliki proses yang panjang, mulai dari pencarian kayu, pemotongan, pengukiran, hingga ritual pemberian nama.

“Pengerjaan (Wemawe) dimulai dengan mencari kayu pada pertengahan Juni 2023, dan mulai pengerjaan pada 7 Juli 2023, untuk mencari kayu material yang digunakan kan tidak gampang, memang harus masuk dalam hutan, karena outdoor (terbuka) kita memakai material kayu besi, kita dapat dua log (batang) kayu tebang dan dua kayu roboh (sudah tumbang),” jelasnya.

Luluk menyebut keseluruhan kayu didapatkan di area Kuala Kencana, dan tidak hanya digunakan untuk pembuatan Wemawe di Bundaran Kuala Kencana, tetapi juga untuk beberapa projek ukiran lain yang dibuat timnya.

“Dalam proses pencarian kayu ini juga ada ritual khusus Kamoro yang dilakukan, tujuannya meminta izin kepada leluhur, untuk mempermudah menemukan kayu dan menjaga keamanan kita masuk ke hutan, tetapi bukan ritual besar, biasanya hanya mengucap saja, salam lah gitu, kalau kita mau ambil kayu di sini,” ujarnya.

Ritual tersebut kata Luluk juga bertujuan meminta petunjuk kepada leluhur agar ditunjukan mana kayu yang baik digunakan. Total ada tiga ritual yang dilakukan dalam proses Wemawe, pertama pencarian kayu, saat akan pengukiran dan pemasangan.

Pada prosesnya, ukiran Wemawe yang berada di Bundaran Kuala Kencana dan beberapa ukiran lainnya dikerjakan 24 pengukir asli Kamoro yang berasal dari Iwaka dan Miyoko masing-masing 12 orang.

“Setelah lewat dua minggu pertama (pengukiran) Iwaka tidak bisa bertahan, akhirnya mereka pulang mengundurkan diri dan masuk pada minggu ketiga, pekerjaan dilanjutkan tim dari Maramowe, kita kan punya empat seniman ukir Kamoro, dibantu pengukir dari Miyoko,” kata Luluk.

Dengan peralatan sederhana, waktu yang diperlukan untuk membuat sebuah patung Wemawe memakan waktu sekitar tujuh hari.

Proses akhir dari pembuatan sebuah Wemawe adalah pemasangan dan pemberian sebuah nama. Wemawe yang telah berdiri atau dipasang disebut Suku Kamoro dengan Bapako Buruu.

Sebelum diberikan nama, Bapako Buruu atau Wemawe, diiringi sebuah ritual yang dilakukan oleh Suku Kamoro. Ritual itu menampilkan tarian yang disebut Tarian Onao.

“Tarian Onao (Onao/Burung Gagak) dilakukan untuk memberikan salam kepada moyang lewat bawah (bawah tanah),” katanya.

Luluk juga memaparkan, empat Wemawe (Bapako Buruu) tersebut di letakan menghadap empat arah mata angin di Kuala Kencana, tujuannya adalah untuk menjaga seluruh Kuala Kencana.

Wemawe (Bapako Buruu) menurut kepercayaan Kamoro akan memberikan ‘perlindungan’ terhadap berbagai penyakit, kekuatan jahat, kesialan, dan hal-hal negatif lainnya bagi anak keturunannya.

“Harapannya leluhur Kamoro ini akan terus menjaga keadaan kondisi Kuala Kencana dari marabahaya, biasanya orang Kamoro percaya yang namanya diberikan kepada ukiran itu bisa memberi perlindungan, kurang lebihnya, hal-hal buruk bisa dihindarkan,” jelasnya.

Wemawe (Bapako Buruu) yang berada di Kota Kuala Kencana diberikan masing-masing nama, yakni pertama Wemawe yang menghadap ke arah Mimika dinamai Tetaramopea, Wemawe yang menghadap klinik dinamai Opokoro Muanuru, Wemawe yang menghadap alun-alun Kuala Kencana bernama Mukaokeyau dan Wemawe yang menghadap RT dinamai Mimare Muanuru.

“Tetaramopea artinya (dia) pemilik hak tanah kuala, Opokoro Muanuru artinya manusia bumi atau Hidup, Mukaokeyau artinya kepala suku, Mimare Muanuru artinya manusia dibalik bumi,” tutupnya.

Karya seni asli buah tangan pengukir Kamoro yang unik dan bermutu tinggi, juga miliki arti mendalam tersebut, saat ini bisa kita nikmati dengan seksama saat melintas di Kuala Kencana.

Proses hingga karya seni itu bisa berdiri kokoh di Bundaran Kota Kuala Kencana juga tidak lepas dari peran PT. Freeport Indonesia yang terus berupaya melakukan pelestarian adat dan budaya Kamoro.

Artikel ini telah tayang di seputarpapua.com
LINK SUMBER : Kota Kuala Kencana dan Empat “Pelindung” Barunya

Pos terkait