Kejati Papua Beberkan Penanganan Perkara Dugaan KKN Pesawat dan Helikopter Pemkab Mimika

JAYAPURA | Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua merilis penanganan perkara dugaan tindak pidana KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang menjerat saudara JR selaku Plt Bupati Mimika dan saudari SH selaku Direktur PT Asian One Air.

Kepada awak media di Kantor Kejati Papua, Kota Jayapura, Papua, Selasa (7/3/2023), Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Papua, Aguwani, SH., MH membeberkan penanganan oleh pihaknya terhadap perkara dugaan KKN pengadaan dan pengelolaan (pengoperasian) pesawat dan helikopter milik Pemerintah Kabupaten Mimika.

Ada 10 poin yang disampaikan Kejati Papua melalui Kasi Kasi Penkum Aguwani terkait perkara ini.

Pertama, terkait perkara dipaksakan atau tidak layak menjadi berkas perkara. Hal tersebut dikatakan Aguwani tidaklah benar. Ia menjelaskan penyidikan perkara dilakukan sejak 24 Agustus 2022, dan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kajati Papua Nomor: Print-5/R.1/Fd.1/08/2022 tertanggal 24 Agustus 2022.

Penyidik pun telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada pelapor, terlapor (JR dan SH), korban, penuntut umum dan KPK. Bahkan disampaikan juga kepada JR, SH, dan korporasi PT Asian One Air dengan surat Nomor: B-05/R.1/Fd.1/08/2022 tertanggal 25 Agustus 2022.

Penyidik dikatakan Aguwani melakukan penyidikan dengan mengumpulkan alat bukti hingga tanggal 25 Januari 2023, dan telah memperoleh alat bukti yang cukup.

Alat bukti yang dimaksud berupa keterangan saksi berjumlah 36 orang, dan keterangan ahli 5 orang (Ahli Auditor Kerugian Negara, Ahli Keuangan Negara, Ahli Fasilitasi Bea dan Cukai pada Dirjen Bea Cukai, Ahli Teknis Peraturan Perundang-udangan pada Dirjen Bea dan Cukai dan Ahli LKPP).

Kemudian barang bukti 157 dokumen, dan telah disita 1 unit Helicopter Airbus H-125 dari Bea Cukai Mimika, lantaran akan dilelang sebagai barang yang tak bertuan, karena kewajiban pabean sekitar Rp31,4 miliar tidak dibayar.

Selanjutnya bukti surat berupa Laporan Hasil Audit Investigasi Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad, Nomor: 00176/2.0604/AP.7/09/0430/1/XI/2022 tertanggal 11 November 2022, yangmana menghitung kerugian keuangan negara sebesar Rp69.135.404.600.

Surat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPKP Perwakilan Provinsi Papua Nomor: PE.11.03/LHP-323/PW26/3.2/2022 tertanggal 08 Agustus 2022, menyatakan terdapat kewajiban PT. Asian One Air membayar kepada Pemkab Kabupaten Mimika sebesar Rp21.848.875.000, namun tidak dibayar.

Surat Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Perwakilan Provinsi Papua Nomor: 06/ML/XIX.JYP/05/2022 tertanggal 23 Mei 2022 yang termuat didalam LHP BPKP Perwakilan Provinsi Papua.

Karena itu, kata Aguwani, dengan telah terpenuhinya alat bukti yang cukup sesuai ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, Penyidik pun menetapkan status tersangka terhadap JR berdasarkan Surat Penetapan Tersangka (Pidsus-18) Nomor: Tap-07/R.1/Fd.1/01/2023 tertanggal 25 Januari 2023 dan SH berdasarkan Surat Penetapan tersangka Nomor: Tap-06/R.1/Fd.1/01/2023 tertanggal 25 Januari 2023.

JR dan SH, kata Aguwani, telah diperiksa penyidik di Kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, pada 17 Februari 2023. Kemudian (berkasnya) dinyatakan lengkap atau P-21 pada 23 Februari 2023 atasnama tersangka JR dengan Nomor: B-379/R.1.5/Fd.1/02/2023 dan tersangka SH dengan Nomor: B-380/R.1.5/Fd.1/02/2023. Kemudian poses tahap II atau pelimpahan berkas perkara dilakukan Penyidik pada 27 Februari 2023.

Tersangka JR, kata Aguwani, sebelumnya juga telah menerima surat panggilan untuk pelaksanaan tahap II di Jayapura, namun yang bersangkutan bersedia tahap II di Jakarta. “Terkait hal ini, tersangka diduga kuat takut ditahan, selanjutnya malah mangkir dan bersiasat dengan mengajukan Praperadilan,” katanya.

“Pelimpahan perkara dilakukan tanggal 1 Maret 2023. Perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Klas IA Jayapura untuk diperiksa pokok perkaranya,” jelas Aguwani.

“Dengan demikian, dalam perkara ini alat buktinya telah cukup dan memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke Pengadilan, sehingga pernyataan perkara ini dipaksakan, tidak benar dan tidak beralasan sama sekali,” katanya.

Kedua, terkait pernyataan jangka waktu satu bulan saja perkara sudah naik ke tahap penuntutan. Hal ini juga dikatakan Aguwani tidak benar, lantaran penyidikan perkara sudah berlangsung selama 6 bulan dan merupakan waktu yang cukup lama. Dimulai sejak 24 Agustus 2022 berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Papua (P-8) Nomor: Print-05/R.1/Fd.1/08/2022 tertanggal 24 Agustus 2022.

Berkas perkara dinyatakan lengkap oleh penuntut umum pada tanggal 23 Februari atasnama tersangka JR Nomor: B-379/R.1.5/Fd.1/02/2023 dan atasnama tersangka SH Nomor: B-380/R.1.5/Fd.1/02/2023. Selanjutnya dilakukan penyerahan tersangka dan barang bukti (tahap II) pada tanggal 27 Februari 2023 dan perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura pada tanggal 1 Maret 2023.

Ketiga, terkait penyidik seharusnya menunggu putusan praperadilan, hal ini dikatakan Aguwani tidak ada kewajiban, lantaran penyidikan perkara ini telah selesai sebagaimana Berkas Perkara Nomor: PDS-01/R.1/Fd.1/02/2023 atasnama Tersangka SH dan Berkas Perkara Nomor : PDS-02/R.1/Fd.1/02/2023 atasnama Tersangka JR tertanggal 20 Februari 2023.

Jaksa Peneliti pada tanggal 23 Februari 2023 menyatakan berkas perkara baik formil maupun materiil telah lengkap, sehingga terbit P-21 tentang Pemberitahuan Hasil Penyidikan Perkara Pidana atasnama tersangka JR dengan Nomor : B-379/R.1.5/Fd.1/02/2023 dan tersangka SH Nomor : B-380/R.1.5/Fd.1/02/2023.

Tanggal 27 Februari 2023 dilakukan penyerahan tersangka dan barang bukti (tahap II) atasnama tersangka JR dan SH, dan pada tanggal 1 Maret 2023 perkara telah dilimpahkan ke Pengadilan. Maka itu, kata Aguwani, berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, permintaan praperadilan telah gugur demi hukum.

Keempat, terkait melanggar prosedur tahap II tanpa kehadiran terdakwa, juga kata Aguani tidak berdasar.

“Bahwa adanya siasat terdakwa menunda pelaksanaan tahap II dengan berbagai alasan mangkir dari panggilan, lalu mengajukan praperadilan,” katanya.

Dijelaskan, berdasarkan ketentuan dalam KUHAP, penyerahan tahap II adalah merupakan hubungan antara penyidik dan penuntut umum yang tidak memerlukan persetujuan atau kehadiran terdakwa. Namun setelah penuntut umum menerima hasil penyidikan yang lengkap atau P-21, maka penuntut umum menentukan apakah berkas perkara memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke Pengadilan.

Dengan demikian, dijelaskan Aguwani, tanpa kehadiran para tedakwa, penyidik pada Kejati Papua dan penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Mimika melaksanakan tahap II, pada Senin, 27 Februari 2023. Hal ini dikatakan sudah sesuai dengan ketentuan, sehingga tidak ada prosedur hukum yang dilanggar, tidak ada satu aturan hukum pun yang melarangnya, dan hal ini sudah dikaji terlebih dahulu.

“Sehingga opini yang dibangun seolah-olah melanggar hak asasi terdakwa, sangatlah menyesatkan dan tidak berdasar, melainkan suatu upaya untuk menghalang-halangi proses penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi, dan ini merupakan tindak pidana tersendiri,” tegas Aguwani.

Kelima, terkait tidak adanya perhitungan kerugian negara dari BPK maupun BPKP, kata Aguwani hal ini pun terbantahkan.

Ia menjelaskan, berdasarkan penjelasan Pasal 32 Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau Akuntan Publik yang ditunjuk.

Sebab, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012, pada pokoknya perhitungan kerugian keuangan negara dapat dilakukan oleh BPK, BPKP, Inspektorat, penyidik atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi Pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahan) yang dapat menunjukan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya. Dalam perkara ini, terdapat Laporan Hasil Pemeriksaan dari Akuntan Publik, dari BPKP dan dari BPK yang dapat dijadikan dasar sebagai alat bukti yang sah.

Berdasarkan Hasil Audit Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad Nomor: 00176/2.0604/AP.7/09/0430/1/XI/2022 tertanggal 11 November 2022 atas dugaan tindak pidana korupsi pengadaan dan operasional pesawat terbang Cessna Grand Caravan C 208B EX dan Helicopter Airbus H-125 pada Dinas Perhubungan Kabupaten Mimika tahun anggaran 2015 sampai dengan tahun 2022, menghitung kerugian negara dalam perkara ini mencapai sebesar Rp69.135.404.600.

Berdasarkan hasil perhitungan dari BPKP Perwakilan Provinsi Papua Nomor : PE.11.03/LHP-323/PW26/3.2/2022 tertanggal 8 Agustus 2022 yang didalamnya terdapat Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Perwakilan Provinsi Papua Nomor: 06/ML/XIX.JYP/05/2022 tertanggal 23 Mei 2022, menyatakan terdapat kewajiban PT. Asian One Air untuk membayar kepada Pemkab Mimika sebesar Rp21.848.875.000 yang hingga saat ini tidak dibayarkan.

Dikatakan, terkait adanya SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 4 tahun 2016 pada rumusan kamar pidana poin 6, menyatakan instansi yang berwenang menghitung kerugian negara adalah BPK, tidak harus diikuti dan dapat dikesampingkan. Karena berdasarkan fakta persidangan, Hakim dapat menilai sendiri adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara.

Hal ini membuka peluang bagi para Hakim mengesampingkan rumusan SEMA tersebut, apalagi kedudukan SEMA berada dibawah ketentuan peraturan perudangan-undangan sebagaimana yang telah disebut diatas dan juga dibawah putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat yang harus diikuti.

Keenam, terkait praperadilan bahwa termohon tidak mau hadir, juga terbantahkan. Sehubungan permohonan praperadilan yang diajukan JR dan SH melalui Kuasa Hukumnya M. Yasin Djamaluddin dan Rekan ke Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura dan relaas panggilan sidang praperadilan untuk Termohon Nomor : 1/Pid.Pra/2023/PN.Jap yang diterima hari Selasa, 28 Februari 2023 untuk hadir di sidang praperadilan pada hari Jum’at tanggal 3 Maret 2023, Termohon meminta penundaan sidang karena belum adanya Surat Kuasa atau Penunjukan Jaksa untuk menghadiri sidang praperadilan dimaksud. Itu juga berdasarkan Surat Nomor : B-415/R.1.5/Fs.1/03/2023 tertanggal 2 Maret 2023.

Selanjutnya kata dia, Termohon telah menyiapkan eksepsi dan jawaban serta alat bukti untuk menghadapi sidang praperadilan dari Pemohon.

Pada Rabu, 1 Maret 2023, penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Mimika telah melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negari Kelas IA Jayapura dengan Surat Pelimpahan Perkara Nomor: APB-180/R.1.16/Ft.1/03/2023 tanggal 1 Maret 2023 atasnama terdakwa JR dan Surat Pelimpahan Perkara Nomor : APB-181/R.1.16/Ft.1/03/2023 tanggal 1 Maret 2023 atasnama terdakwa SH.

“Dengan demikian, status perkara telah beralih dari penyidikan kepada penuntutan (proses persidangan), dan status JR dan SH saat ini telah beralih dari tersangka menjadi terdakwa. Maka berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, permintaan praperadilan telah gugur demi hukum,” jelas Aguwani.

Begitu juga berdasarkan SEMA Nomor 5 tahun 2021 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Mahkamah Agung tahun 2021 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, pada angka 3 menyatakan bahwa, dalam perkara tindak pidana, sejak berkas perkara dilimpahkan dan diterima oleh Pengadilan, serta merta mengugurkan pemeriksaan praperadilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, karena sejak dilimpahkan perkara pokok ke Pengadilan, status tersangka beralih menjadi terdakwa, status penahanannya beralih menjadi wewenang Hakim.

Dalam hal ini praperadilan tetap memutus dan mengabulkan permohonan Pemohon, namun putusan tersebut tidak menghentikan pemeriksaan perkara pokok.

Ketujuh, terkait di tahun 2017 KPK telah menghentikan penyidikan perkara ini. Hal tersebut dikatakan Aguwani sangat ngawur dan tidak berdasar. Sebab, di tahun 2017 KPK berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK tidak boleh menghentikan perkara. Hal ini diatur dalam Pasal 40 yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.

Sehingga Undang-undang KPK dirubah agar dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan yaitu dengan Undang-undang RI Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hal ini diatur dalam Pasal 40.

“Dengan demikian, maka pernyataan KPK telah menghentikan perkara ini di tahun 2017 sangat ngawur dan tidak berdasar hukum sama sekali,” ujarnya.

Kedelapan, terkait pada tanggal 28 Februari 2023 Polda Papua menghentikan penyidikan kasus yang sama. Hal ini menurut Aguwani merupakan pembohongan publik.

Sesuai ketentuan dalam KUHAP, apabila penyidik mulai melakukan penyidikan, maka wajib mengirimkan SPDP kepada penuntut umum. Hal ini termuat dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang menyatakan, dalam hal penyidik telah melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.

Demikian pula jika penyidik menghentikan penyidikan, maka wajib memberitahukan kepada penuntut umum. Hal ini termuat dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang menyatakan dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka, atau keluarganya.

“Hingga saat ini tidak ada SPDP maupun SP3 yang diberitahukan oleh penyidik Polda Papua kepada penuntut umum Kejati Papua terkait perkara yang sama ditangani. Bahkan secara etika berdasarkan MoU, jika Kejati Papua telah menangani perkara terlebih dahulu, maka Polda Papua tidak menangani dan demikian pula sebaliknya,” katanya.

Kesembilan, Aguwani mengungkapkan adanya upaya dari pihak lain menghalang-halangi proses penyidikan dan penuntutan (Obstruction of justice) perkara ini.

Ia mengungkapkan, ada pihak yang sengaja berupaya akan menggagalkan proses penyidikan dan penuntutan perkara ini yang merupakan perkara tindak pidana korupsi, dilakukan secara politik dan menggerakkan massa.

Sehingga, para pihak tersebut kata Aguwani, dapat dikenakan Pasal 21 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun, dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.

Kesepuluh, terkait penanganan perkara disetir pihak lain, hal ini pun dibantah. Aguwani mengatakan itu tidak benar.

Aguwani menerangkan, pernyataan penanganan perkara ini disetir pihak lain tidak benar, karena perkara ini murni perkara hukum. Bahkan laporan perkara ini dari masyarakat sudah sejak lama yang diteruskan oleh Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejaksaan Agung RI ke Kejaksaan Tinggi Papua, itu berdasarkan surat Nomor : R-667/F.2/Fd.1/06/2021 tertanggal 18 Juni 2021 dan ditangani. Akhirnya ditingkatkan ke tahap penyidikan pada tahun 2022 dan dilanjutkan ke tahap penuntutan (persidangan) pada tahun 2023,

“Berproses secara normal tanpa ada intervensi dari pihak manapun, dan hasilnya siap diuji di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura. Oleh karena itu, semua pihak harus bersabar menunggu hasil putusannya,” pungkasnya.

 

Artikel ini telah tayang di seputarpapua.com
LINK SUMBER : Kejati Papua Beberkan Penanganan Perkara Dugaan KKN Pesawat dan Helikopter Pemkab Mimika

Pos terkait