BPSDM Bagian Dari Masalah Kegagalan Ratusan Anak Papua yang Hendak Dipulangkan Dari Luar Negeri

SAPA (TIMIKA) – Agar tidak terkesan menuding, perlu klarifikasi dari saya. Kita yang sedikit memahami apa itu manajemen resiko (risk management), tentu program beasiswa luar negeri (LN) oleh pemerintah Papua penuh dengan resiko dalam proses-prosesnya. Di sini, kepemimpinan BPSDM Papua sudah pernah di nahkodai orang-orang hebat hingga bergelar Doktor. Ini artinya, setidaknya setiap kendala yang dialami, dapat dituangkan dalam kertas pengalaman (lesson learned) sehingga mitigasi masalah yang sama dapat dilakukan. Proses mitigasi itu kan ada beberapa: bisa shift risk, accept risk, replace risk dan avoid risk at all.

Sekarang begini, bagi saya, bila BPSDM katakan anak-anak yang dikirim gagal, saya lebih sepakat dimana anak-anak yang dikirim ini memang di set up untuk gagal. Mungkin tidak disadari BPSDM namun ini sebuah resiko yang seharusnya bisa dikurangi dengan berbagai tindakan yakni proses persiapan keberangkatan, proses pengawasan tiap semester dan juga proses pendampingan agar anak-anak kita, mereka tidak menghalami hambatan yang mana jelas, di 2022 ini, mereka harus dipulangkan.

Kita masyarakat umum, termasuk saya sebagai salah satu pembayar pajak ke negara ini, kita patut beri 2 pertanyaan: siapa yang salah atau apa yang salah? Kalau kita bilang individu yang mengurus program ini, serba salah karena semua akan mengelak dan shift blame. Kalau kita bilang apa yang salah atau kurang? Sama saja kita ampuni mereka para pemegang kuasa program ini dari segala tanggung jawab yang ada. Ini dasar di mana saya katakan ada miss-management di BPSDM dan orang yang paling bertanggung jawab adalah kepala BPSDM.

Beberapa flyers beredar, saya diinfokan itu dari OPD terkait punya bagian yang memberikan keterangan ke publik tentang apa saja dosa anak-anak yang dikirim ke LN, dimana pada akhirnya mereka dipulangkan. Menarik menurut saya sebagai bagian dari publik untuk menanyakan ratuan anak-anak yang dipulangkan ini. Apa versi mereka sebenarnya dalam masalah yang muncul atau terjadi?

Sekarang bicara persiapan dan kesiapan para peserta didik yang direkrut dan lolos seleksi sehingga terpilih untuk menjadi anak-anak Papua pilihan yang disekolahkan ke LN menggunakan uang Otsus yang adalah hak semua orang Papua. Apakah prosesnya berjalan tanpa adanya tendensi “titip menitip” dan juga proses nepotisme?

Dalam percakapan publik yang kami dengar, tidak sedikit orang Papua yang bilang, “ah, itu anak-anak yang dikirim itu orang dalam pu orang bahkan ada yang katakan mereka adalah anak-anak pejabat” yang mana ini perlu di jelaskan oleh BPSDM dan diuji oleh publik kebenarannya. Menurut saya, anak-anak yang dipilih ini, lewat tes atau tidaknya, mereka bisa dapat beasiswa ini karena memang Tuhan kehendaki. Begitu juga kegagalan yang mereka alami memang adalah jalan dan kehendak Tuhan. Di sinilah, pukulan dan tamparan untuk siapa saja yang terlibat kelola program ini.

Bagi saya, stop salahkan mereka anak-anak yang gagal ini karena JELAS kegagalan juga ada pada pengelola!

Dalam berita yang dirilis Tribun Papua, memang terkesan kasar karena ada permintaan atau usulan dari saya agar pimpinan di BPSDM ini perlu direview dan bila perlu kompetensinya diuji. Berikut juga, kemitraan yang selama ini dijalankan dengan 3rd party harus direview, diaudit dan bila ada pihak-pihak yang bermain dalam program ini, mereka harus bertanggung jawab. Karena apa? Karena kegagalan yang dialami anak-anak kita ini ada sumbangsih dari pengelola dan semua 3rd party yang dipakai jasanya untuk mempersiapkan anak-anak Papua di kala itu. Mereka yang di “sanksi” gagal dan hendak dipulangkan saat ini.

Juga, saya sampaikan bagian miss-management ini terjadi karena persoalan komunikasi. Sebagai salah satu senior, ada beberapa masukan yang secara pribadi kami terima tentang bagaimana komunikasi yang lambat dalam respon antara penerima beasiswa dan anak-anak di luar negeri ini.

Pengelola beasiswa ini harus sadar bahwa anak-anak yang dikirim keluar ini usianya belia dan perlu pendampingan bukan saja di dalam negeri saat persiapan namun juga di luar negeri sana. Mereka tidak bisa berharap kunjungan para pengelola beasiswa ini lewat jalan dinas untuk mereka dapat menyampaikan keluhan yang dialami. Bahkan, saya merasa aneh ketika tahu bahwa beberapa dari pengelola ini ketika pergi keluar negeri untuk “menjenguk” anak-anak kita ini ternyata tidak mampu berbahasa Inggris dan harus di translate ketika berbicara dengan pihak kampus. Ini memang sudah lama dan mungkin saja saat ini orang-orang yang menjadi bagian dari pengelola ini adalah orang-orang berkompeten namun beginilah kondisi hari ini.

Mustinya disadari bahwa munculnya sebuah masalah itu bukan disebabkan oleh satu atau dua penyebab. Dalam dunia problem solving, masalah itu terjadi ketika kita selesaikan suatu masalah, bukan berarti masalah itu selesai namun akan memunculkan masalah baru yang lebih kompleks. Artinya, masalah pemulangan anak-anak kita ini bukan hanya karena mereka ini, seperti diinfokan, mengalami masalah kriminal, dan melakukan pelanggaran-pelanggaran saja. Apa yang dilakukan pihak BPSDM dari awal yang mana dapat meminimalisir potensi bahaya yang dialami para penerima beasiswa anak-anak Papua ketika sudah di luar negeri? Ada kekurangan yang pengelola yang mungkin tidak diantisipasi, bukan? Ini makanya saya agak protes kalau saja pimpinan pengelola beasiswa LN Papua ini cenderung menyalahkan perilaku anak-anak Papua yang membuat mereka gagal.

Kesimpulan saya sederhana:

1. Pimpinan BPSDM direview dan dicarikan gantinya

2. Pihak-pihak yang paham sistem pendidikan di LN itu dilibatkan sebagai pengelola yang secara profesional menjadi mutu dan integritas dari program ini dari persiapan hingga tahapan selanjutnya.

3. BPSDM harus mempekerjakan orang-orang profesional untuk masuk dalam rancangan program-program selanjutnya dan STOP pakai agen-agen atau institusi-intitusi yang tidak paham dengan psikis anak Papua dan juga kondisi riil di luar negeri.

4. Gubernur harus tegas program-program super-expensive ini tidak boleh menjadi lahan korupsi dengan cara adanya pengawasan ketat multilevel.

5. Pimpinan BPSDM harus jelaskan alasan filosofis kenapa program beasiswa luar negeri ini ada.

Sebagai catatan, dulu Prof. Yohanes Surya itu usul program matrikulasi khusus di angkatan pertama pada 2003 untuk mempersiapkan para calon dosen. Anak-anak dirancang untuk ke luar negeri itu untuk kembali ke tanah air menjadi pengajar, berdiri di depan anak didiknya orang Papua, dimana akan ada kebanggaan tersendiri ketika orang-orang yang di sekolah ke LN ini balik dan menjadi pendidik untuk generasi Papua. Kenyataannya, menurut saya, BPSDM ini pikir hanya pergi kasih sekolah namun rancangan program untuk mereka yang telah selesai dan pulang ke Papua ini unclear.

Bahasa sederhananya itu untuk kita yang di jalan “tadah debu makan abu jalanan,” program ini di buat tanpa dasar filosofis yang jelas. Ada pernah dikatakan kalau program ini untuk mempersiapkan para pemikir-pemikir masa depan Papua yang siap untuk membawa Papua melihat gerbang emas. Ini benar, namun, realitanya ilmu yang dipelajari dan pengalaman praktis bekerja dan keterampilan dalam meng-initiate suatu terobosan butuh waktu dan harus ada institusi yang menjadi wadah inkubasi. Toh, ini tidak disiapkan. Di sinilah saya katakan tidak ada desain program beasiswa LN Papua ini yang di rancang end-to-end.

Empat kesimpulan di atas ini mungkin agak “keras” namun kita sudah harus sadar bahwa uang yang dikucurkan untuk program ini adalah uang negara hasil pajak dari perusahaan orang per orang seperti saya dan anda yang pembaca. Kalau bicara uang Otsus itu kita sadar saja kalau itu uang politik. Kita juga harus sadar kalau uang Otsus itu uang yang mana harusnya 100% diberikan kepada orang-orang Papua yang ada hidup dan menjaga negeri ini.

Oleh: Septinus George Saa*

*Penulis pernah menjadi pemenang lomba First Step to Nobel Prize in Physics pada tahun 2004 dari Papua memperoleh Beasiswa dari Freedom Insitute milik Aburizal Bakrie untuk melanjutkan studi S1 di jurusan aerospace engineering, Florida Institute of Technology (2006-2009); dan lulusan S2 bidang Teknik Material dari Universitas Birmingham, Inggris. Saat ini penulis bekerja sebagai Instruktur di PT. Bamanat Amiete Papua, Timika.

Editor: Jimmy R

 

Catatan Redaksi: Isi tulisan ini di luar tanggung jawab redaksi Salam Papua.

Pos terkait