TIMIKA | Insan Pers di Kota Jayapura, Papua, berencana menggelar aksi untuk menyikapi rencana pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) KUHP oleh DPR RI di Jakarta pada Selasa, 6 Desember 2022.
Aksi yang rencana digelar insan Pers Papua ini, akan dilangsungkan Senin besok, 5 Desember 2022 bertempat di Taman Imbi Jayapura.
Koordinator Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura, Fabio Costa, membenarkan bahwa Senin besok insan Pers di Jayapura dan sekitarnya akan menggelar aksi tersebut.
“Besok kita (AJI) bersama-sama insan Pers yang lainnya dari IJTI, PWI, PBH Pers, direncanakan besok akan turun menyampaikan sikap meminta penundaan pengesahan RUU KUHP yang direncanakan pada hari Selasa di DPR RI,” kata Fabio yang dihubungi media ini dari Timika, Minggu (4/12/2022).
Menurutnya, aksi meminta penundaan pengesahan RUU KUHP oleh DPR RI lantaran terdapat 19 pasal karet yang dapat menghambat atau menganggu kerja pers.
“Kita bisa dikenakan tindakan pidana ketika kita menulis atau menghasilkan konten yang bersinggungan dengan 19 pasal tersebut,” kata Fabio.
“Misalnya Pasal 280 itu, terkait gangguan dan penyesatan proses peradilan. Jadi, ketika kita mau mengambil konten atau foto atau apa, kita harus berdasarkan izin dari hakim atau pengadilan. Kemudian juga ada pasal-pasal lainnya yang mengancam kebebasan pers,” imbuhnya.
Terkait aksi ini, menurut Fabio, pihaknya sudah menyampaikan ke pihak kepolisian setempat untuk pengamanan.
Karena itu, AJI mengajak semua insan Pers dan lembaga terkait untuk bersama-sama menyampaikan sikap dan membentangkan spanduk menuntut penundaan pengesahan RUU KUHP oleh DPR RI, Selasa nanti.
AJI Indonesia dalam siaran pers sebelumnya, mengidentifikasi ada 19 pasal dalam RUU KUHP yang mengancam secara langsung kebebasan pers di Indonesia.
Temuan 19 pasal tersebut merupakan hasil kajian hukum antara AJI Indonesia dengan ahli dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Herlambang P. Wiratraman terhadap RKUHP versi 4 Juli 2022.
Dokumen hasil kajian tersebut diluncurkan 19 Agustus 2022, berjudul Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Dan Potensi Ancamannya Terhadap Kebebasan Pers Di Indonesia.
Sembilan belas pasal tersebut yakni :
1. Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
2. Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
3. Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah.
4. Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.
5. Pasal 264 yang mengatur tindak pindana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.
6. Pasal 280 yag mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan.
7. Pasal 302, Pasal 303 dan Pasal 304 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.
8. Pasal 351 dan Pasal 352 yang mengatur tentang penghinaan terhadap kekuasaan Umum dan Lembaga Negara.
9. Pasal 440 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan.
10. Pasal 437 mengatur tindak pidana pencemaran.
11. Pasal 443 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati.
12. Pasal 598 dan Pasal 599 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.
Ketua AJI Indonesia, Sasmito, mengatakan RKUHP versi 4 Juli 2022 merupakan intervensi untuk melemahkan kebebasan pers karena secara eksplisit hendak memasukkan delik pers dan meruntuhkan doktrin lex specialis dalam sistem hukum pers.
19 pasal tersebut akan berdampak khusus terhadap karya jurnalistik atau mereka yang bekerja sebagai awak pers, seperti jurnalis, editor, pemimpin redaksi dan narasumber.
“Masuknya 19 pasal itu termasuk pasal tentang delik pers merupakan bentuk penolakan negara untuk melindungi pers. Pasal-pasal tersebut mengonfirmasi pengutamaan mekanisme pemidanaan yang sama sekali tak menghargai karya jurnalistik,” kata Sasmito pada Jumat, 19 Agustus 2022.
Menurut Sasmito, DPR RI dan Pemerintah harus mendekriminalisasi karya jurnalistik karena memuat kepentingan umum.
Keberlakuan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers berikut Kode Etik Jurnalistik (KEJ) merupakan mekanisme khusus (lex specialis) dan diutamakan keberlakuan hukumnya (lex suprema) dalam kasus-kasus hukum yang menyangkut pemberitaan atau karya jurnalistik.
Tanpa perlindungan terhadap kebebasan pers berarti ancaman terhadap demokrasi, kebebasan sipil, serta hilangnya kontrol publik atas tindakan kesewenang-wenangan.
Sementara itu dilansir CNN Indonesia, Dewan Pers membeberkan sembilan pasal yang dinilai bakal mengancam kebebasan pers dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Ketua Komisi Pendataan, Kajian, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan, pihaknya telah mencermati pasal-pasal yang mengancam ekosistem pers tersebut.
Ia berharap publik terus menyuarakan pasal-pasal bermasalah di RKUHP.
“Dewan pers melihat untuk kepentingan upaya pencegahan pemberantasan terhadap kebebasan pers, sebagai mandat undang-undang. Kami mencermati ada 9 pasal,” kata Ninik di Kompleks Parlemen, pada Selasa, 19 Agustus 2022.
Adapun sembilan pasal-pasal di RKUHP tersebut yakni :
1. Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara. Ayat 1 Pasal 188 mengancam pidana penjara hingga empat tahun bagi siapapun yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme di ruang publik. Namun, pidana tidak dapat dilakukan jika kajian dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
2. Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pasal penghinaan presiden bisa dilakukan penuntutan hanya jika diadukan langsung oleh Presiden dan Wakil Presiden secara tertulis alias merupakan delik aduan. Setiap orang yang terbukti menghina presiden dan menyebarkannya diancam hukuman penjara hingga enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
3. Pasal 240 dan 241 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah. Pasal tersebut mengancam pidana hingga tiga tahun atau denda maksimal kategori IV bagi siapapun yang menghina pemerintah yang sah. Hinaan disyaratkan menyebabkan kerusuhan di tengah masyarakat.
4. Pasal 263 dan 264 tentang Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong. Pasal 263 mengancam pidana penjara hingga enam tahun bagi siapapun yang terbukti secara sengaja menyebarkan berita bohong dan mengakibatkan kerusuhan di tengah masyarkat. Sedangkan, Pasal 264 memberi ancaman pidana hingga dua tahun bagi siapapun yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap sedangkan diketahuinya atau patut diduga menyebabkan kerusuhan di tengah masyarakat.
5. Pasal 280 Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan. Pasal 280 memberi ancaman denda kategori II bagi siapapun yang tidak mematuhi perintah pengadilan dan bersikap tidak hormat pada hakim. Ancama denda juga ditujukan pada siapapun yang tanpa izin merekam dan mempublikasikan proses persidangan.
6. Pasal 302-304 tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan. Pasal 302 mengatur soal ancaman bagi siapapun yang melakukan perbuatan permusuhan atau ujaran kebencian di muka umum atas nama agama dapat dipidana penjara maksimal hingga lima tahun. Sementara, Pasal 303 mengancam pencabutan izin bagi siapapun yang mengulangi tindak pidananya karena tuntutan profesi kurang dari dua tahun sejak vonis pertama.
7. Pasal 351-352 Tindak Pidana terhadap Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara. Dua pasal tersebut mengatur ancaman pidana hingga tiga tahun bagi siapapun yang menghina kekuasaan umum atau lembaga negara. Tuntutan hanya dapat dilakukan jika diadukan langsung oleh lembaga yang dimaksud.
8. Pasal 440 Tindak Pidana Penghinaan Pencemaran Nama Baik. Barang siapa yang menghina atau melakukan pencemaran nama baik di depan umum terancam pidana maksimal hingga enam bulan atau denda kategori II.
9. Pasal 437 dan 443 Tindak Pidana Pencemaran. Pasal tersebut mengatur siapapun yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain agar diketahui umum dapat dipidana penjara maksimal sembilan bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. Ancaman pidananya bisa menjadi empat tahun jika terdakwa tak bisa membuktikannya dalam proses pengadilan, dan pengunaan tersebut justru menjadi fitnah.
Artikel ini telah tayang di seputarpapua.com
LINK SUMBER : Besok, Insan Pers di Jayapura Aksi Desak Penundaan Pengesahan RUU KUHP